Lestarikan Budaya dan Angkat Ekonomi Desa
Regenerasi Penenun agar Tak Ditelan Masa
Pemberdayaan perempuan dapat dilakukan untuk meningkatkan perekonomian di daerah. Peran korporasi menjadi penting ketika masyarakat mempunyai keterbatasan akses terhadap sarana yang mendukung pemberdayaan tersebut.
SARLIN Ranafa sedang menenun selendang di lapangan SDN Negeri Sonraen, Kecamatan Amarasi Selatan, Kabupaten Kupang, pada terik siang akhir pekan lalu. Perempuan 48 tahun itu mengikuti Festival Kampung Berseri Astra. Di acara tersebut, Mama Sarlin bersama beberapa perempuan lainnya memperagakan cara pembuatan kain tenun kepada pengunjung yang hadir.
Sambil menenun, Mama Sarlin menceritakan tahap pemberian warna pada kain khas Timor. ’’Kalau sarung, kasih warna dari kemiri sama daun pepaya. Terus, jemur sampai kering dan ditaruh lagi dengan (akar) mengkudu. Dibersihkan, ditumbuk, keluar ampasnya, baru airnya kita pakai,’’ paparnya.
Mama Sarlin menenun sejak 15 tahun lalu. Di kampungnya, Desa Sonraen, anak perempuan pantang menikah jika belum bisa menenun. Akibatnya, jumlah perempuan yang belajar menenun bertambah banyak. Namun, tidak banyak yang kemudian menjadikan bertenun sebagai pekerjaan. Anak-anak perempuan belajar menenun untuk menikah, tetapi banyak yang kemudian bekerja menjadi guru, ibu rumah tangga, atau pekerjaan lainnya. Regenerasi penenun pun terancam.
Jumlah alat tenun yang dimiliki warga di Desa Sonraen tidak banyak. Mama Sarlin mengungkapkan bahwa dulu satu alat tenun milik satu keluarga bisa dipinjam sepuluh orang di satu desa yang sama. Mereka yang menggunakan alat tenun itu biasanya perempuan remaja yang belajar menenun. Kemudian, Desa Sonraen mendapatkan bantuan alat tenun dari Astra. ’’Seminggu bergiliran pakainya,’’ ujar perempuan dua anak tersebut.
Kini ada 20 alat tenun di Desa Sonraen. Perempuan-perempuan di Desa Sonraen bisa lebih leluasa menenun. Bukan hanya remaja perempuan yang menggunakan ala tenun tersebut. Para ibu rumah tangga juga mulai rajin menenun. Karena itulah, kemampuan menenun dari para ibu rumah tangga di Desa Sonraen makin terasah.
Mereka memakai alat tenun tersebut secara bergiliran. Satu orang mampu menghasilkan dua helai selendang tenun dalam waktu tiga hari. Para ibu rumah tangga itu juga bisa membuat kombinasi tenun untuk aksen pada jas pria. Ada juga yang sudah bisa membuat jas pria dari bahan tenun. Setelah itu, produk tenunan dijual di rumah-rumah para ibu. Kadang para ibu di Desa Sonraen mengikuti pameran dan festival di tingkat kecamatan atau di kabupaten.
Satu helai selendang dihargai Rp 200 ribu–Rp 300 ribu. Jas pria dijual antara Rp 1 juta hingga Rp 2 juta. ’’Bisa untuk beli benang lagi atau beli beras,’’ kata Mama Sarlin sambil terus menenun.
Namun, Mama Sarlin dan para ibu di Desa Sonraen belum bebas bertenun karena penggunaan mesin tenunnya masih digilir setiap minggu. Kini jumlah ibu yang aktif menenun di Desa Sonraen mencapai 20 orang. Selain menenun untuk dijual, para ibu di Desa Sonraen masih perlu mengajari anak perempuannya untuk belajar menenun. Jika jumlah mesin tenunnya diperbanyak, makin banyak remaja perempuan yang bisa belajar menenun sekaligus berwirausaha menjadi penenun.
Head of Environment & Social Responsibility PT Astra International Tbk Riza Deliansyah menyatakan, pihaknya tengah mengusahakan menenun bisa masuk kurikulum pelajaran di sekolahsekolah di Desa Sonraen. Melalui Yayasan Pendidikan AstraMichael D. Ruslim (YPA-MDR), Astra membantu memfasilitasi tenaga pengajar tenun.
Upaya serupa sebenarnya telah dilakukan Astra di Kampung Berseri Astra yang lain. ’’Di Jogjakarta, ada kurikulum mengenai batik. Sebab, kami kan worry juga kalau tidak ada generasi penerus yang bisa membatik atau menenun,’’ tuturnya.
Terlebih, tidak banyak perempuan yang berminat menjadi pembatik ataupun penenun. Riza merasa happy jika ibu-ibu mampu membantu ekonomi keluarga. Dengan menenun, ibu-ibu makin mandiri sekaligus membantu melestarikan tradisi.