Agar Kepergian Mereka Tak Sia-Sia
PAGI tadi saya mengantar si kecil sekolah. Biasa saja. Meski ya mata masih sepet karena seharian kemarin ngurusi berita bom bersama tim. Melelahkan. Terutama secara psikis. Di balik berita yang tersaji di koran itu, ada duka-duka kami yang terselip untuk para korban.
Menunggu kantin buka karena mau membeli seragam sekolah, saya duduk di bangku. Jam hendak menunjukkan pukul 07.00. Waktu masuk segera tiba. Anakanak berduyun-duyun datang. Ada yang bercanda bersama teman, ada juga yang berjalan santai sendirian dalam diam. Seolah menikmati pagi yang sejuk itu.
Mendadak saya menangis. Mengingat setidaknya ada empat bocah yang kini tidak pernah bisa lagi merasakan keriuhan sekolah. Tidak lagi bisa bermain slime atau bertukar squishy dengan temannya. Tidak lagi bisa mengutak-atik lego, bermain sepeda, atau menjagokan hero mereka di arena Mobile Legends.
Vincentius Evan dan adiknya, Nathanael Ethan. Mereka menjadi korban tewas bom bunuh diri di Gereja Santa Maria Tak Bercela pada Minggu pagi (13/5). Usia mereka masing-masing 12 dan 8 tahun. Dua anak lagi adalah Fadhila Sari dan Famela Rizqita. Secara kebetulan usia mereka juga sama, 12 dan 8 tahun. Bersama dua kakaklelaki,merekadiajakayahdan ibunya–yangrasanyasudahsinting– untukmelakukanaksibombunuh diri di tiga gereja.
Wajah-wajah manis nan innocent keempatnya membayangi saya. Bagaimanapun, Fadhila dan Famela adalah korban. Saya tidak bisa membayangkan apa yang dikatakan orang tuanya sebelum melakoni aksi laknat itu. Yang pasti, pagi itu mereka berdua ditemukan tergeletak di pelataran GKI Diponegoro bersama sang ibunda. Berbalut gamis hitam dilengkapi cadar. Kematian yang tragis. Kematian yang bagi orang waras pasti melihatnya sebagai sebuah kesia-siaan.
Tapi, tidak bagi mereka. Sebagai seorang ekstremis, mereka pasti menganggapnya sebagai jalan masuk surga. Seolah tidak ada jalan lain. Seolah tidak mengenal bahwa berbuat baik dengan sesama, saling menolong, dan menghormati hak orang lain juga bisa menjadi pengantar masuk surga.
Terlepas dari jaringan apa pun yang jelas, Dita Oepriarto, ayah Fadhila dan Famela, adalah seorang radikal. Sesuatu yang propagandanya, menurut saya, sekarang tumbuh dengan subur di negeri ini. A long long time ago, ketika isu agama belum menjadi komoditas ekonomi dan politik, rakyat Indonesia mampu hidup berdampingan. Toleransi diagungkan. Kita dikenal sebagai bangsa yang ramah.
Tapi, semua itu tinggal sejarah. Sejumlah pemuka dari agama mayoritas mengarahkan umatnya untuk menjadi homogen. Umat Wartawan Jawa Pos
yang tak menoleransi keberagaman. Katanya kita bisa ditarik dari surga hanya karena ketika dihisab kedapatan pernah membeli Starbucks. Okelah, sebelum ini sudah banyak yang memboikot gerai kopi itu karena mendukung LGBT sampai isu rasis. Tapi, yang sampai membawa kehidupan akhirat ya baru ini saya tahu.
Kita juga tidak diperbolehkan nonton drama Korea dengan alasan pemainnya kafir dan tak bersunat. Lalu, ditampilkan wajah kita yang tersiksa saat sakratulmaut karena kebiasaan nonton drama tersebut. Samasama belum pernah ke akhirat, sama-sama belum sakratulmaut (meski semua juga tinggal menunggu waktu), tapi bagi sebagian umat hal itu bisa dengan mudah merasuk ke jiwa. Dari sebagian yang tidak sepakat dengan isi ceramah itu, pasti ada yang memilih tak mau berspekulasi. Manut saja ketimbang beneran ditarik dari surga. Siapa mau ambil risiko itu?
Di era badai sarana penyebar informasi, ajaran-ajaran seperti itu mudah sekali sampai ke umat di berbagai pelosok. Tak pandang usia. Benih-benih radikal bisa ditanamkan sejak kecil. Mengajak buah hati ke sekolah yang eksklusif secara agama, sadar nggak sadar itu juga turut membantu menanam benih. Masih banyak faktor lain yang memengaruhi orang menjadi ekstremis. Tapi, terpaan informasi itu menjadi salah satu faktor penting.
Untuk itu, semestinya kita bisa menjadi orang yang lebih kritis dalam menerima informasi. Tidak asal menelan semuanya. Menjadi seseorang yang percaya diri dengan apa yang diyakini. Agama apa pun pasti mengajarkan hal yang sama. Meminta pengikutnya berjalan dalam kebaikan. Agama juga mengatur kehidupan umatnya. Tapi, masak hanya urusan selfie atau mentraktir teman beda agama saja mesti berkonsultasi ke pemuka agama?
Selain itu, yang bisa dilakukan saat ini adalah meningkatkan kepedulian. Baik kepada keluarga maupun sekitar serta tentu saja apa yang terjadi di medsos. Jika Anda melihat ada hal yang tidak wajar, hal yang berbau ekstrem, segera beri tahu petugas. Di Surabaya ada CC112 yang siap menampung apa pun laporan Anda. Dalam kasus Dita, mungkin tetangga tidak melihat kejanggalan. Tapi, jika ditelusuri, bisa dilihat dari mana dia membeli bahan-bahan membuat bom tersebut. Jika merasa itu mencurigakan, pegawai toko bisa melapor.
Saat saya menulis ini, ledakan bom terjadi lagi. Surabaya yang selama ini nyaris aman dari aksi teroris seakan sedang menjadi bulan-bulanan. Jaga diri guys dan meski ngomongnya dengan hati mak tratap tekadkan bahwa Aku Gak Wedi.
Untuk para teroris, jika merasa tidak bisa hidup berdampingan dengan mereka yang kalian anggap berbeda, saya punya resep. Tidak usah bom bunuh diri. Yang mati paling berapa. Cukup rebut enam Infinity Stones dari Thanos. Keinginan Anda akan terwujud. Separo penduduk semesta bisa menghilang dan kalian bisa hidup homogen. Thanos juga musuh yang lebih sepadan dengan kalian daripada bocah-bocah tak bersalah yang hendak sekolah minggu.
Catatan
ARIYANTI RAKHMANA