TNI PERKUAT LANGKAH REPRESIF
PEMERINTAH mendukung upaya Polri yang akan menggandeng TNI dalam operasi bersama memberantas teroris. Rentetan aksi teror di Surabaya sejak dua hari lalu (13/5) menjadi salah satu alasan kuat. Kemarin (14/5) Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko menyampaikan bahwa kerja sama Polri-TNI akan menambah kekuatan aparat di lapangan.
Moeldoko mengatakan, instruksi Presiden Joko Widodo sudah sangat jelas dan tegas. ”Untuk memberikan tindakan tegas tanpa ampun, seakarakarnya,” katanya
Menurut dia, presiden juga sudah memerintah TNI agar bekerja sama dengan Polri untuk menyelesaikan persoalan terkait dengan aksi teror. ”Sehingga kepolisian memiliki kekuatan yang semakin firm untuk membasmi teroris,” tambahnya.
Meski belum bisa menjelaskan secara terperinci soal kerja sama Polri dan TNI dalam urusan pemberantasan teroris, Moeldoko menuturkan bahwa TNI bakal memperkuat langkah represif yang selama ini sudah dilaksanakan kepolisian.
”Itu poinnya,” katanya. Sebagai mantan panglima TNI, Moeldoko mengakui, institusi militer tanah air punya kapasitas mumpuni untuk membantu Polri. Sebab, mereka memiliki satuan-satuan yang sudah terlatih untuk berhadapan dengan teroris. ”Bisa nanti pengerahan Badan Intelijen Strategis untuk membantu intelijen dari kepolisian,” ujarnya.
”Secara represif bisa menggunakan satuan-satuan gultor yang telah disiapkan,” sambungnya. Dia yakin TNI bisa menyesuaikan dengan kebutuhan Polri. Yang jelas, kerja sama tersebut akan menambah kekuatan petugas di lapangan.
Berkaitan dengan ledakan bom bunuh diri yang kembali terjadi kemarin pagi, Moeldoko mengungkapkan bahwa Polri maupun TNI sudah sangat waspada terhadap setiap potensi ancaman. ”Karena sudah beredar, mereka (teroris) akan memberikan tekanan pada pos-pos TNI dan kepolisian,” terangnya. Namun, apa daya, bom bunuh diri tidak bisa dihindari. Untuk itu, pemerintah ingin langkah antisipasi ke depan lebih baik.
Menurut Moeldoko, prosedur pemeriksaan terhadap setiap orang yang hendak keluar-masuk markas Polri maupun TNI harus dievaluasi. Bila perlu, segera diperbaiki. ”Mungkin pencegatannya agak jauh di luar,” ujarnya. Sebab, sambung dia, pemeriksaan oleh petugas di Mapolres Surabaya masih terlampau dekat. Keterangan itu disampaikan setelah dia menerima rekaman video insiden ledakan bom bunuh diri di lokasi tersebut.
Meski demikian, Moeldoko membantah aparat di lapangan kebobolan. Menurut dia, semua instansi yang punya tanggung jawab dan kewenangan sudah sangat waspada. ”Tapi, modusmodus yang dia (teroris) kembangkan itulah yang membatasi mereka (petugas),” kilahnya. ”Langkah preventif menjadi tidak bisa berjalan dengan baik karena modus yang mereka jalankan itu,” sambung dia.
Lebih lanjut, Moeldoko menuturkan, Polri sudah mengantongi data yang ada kaitannya dengan sel-sel teroris.
”Persoalannya menjadi tidak mudah karena (aturan dalam revisi) undang-undang tentang terorisme belum diberlakukan,” bebernya. Alhasil, aparat tidak bisa bertindak apabila terduga teroris belum beraksi. Karena itu, pemerintah terus mendorong penyelesaian revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Direktur Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menyampaikan, saat ini negara memang membutuhkan alat aksi yang efektif untuk memastikan keamanan nasional. ”Salah satu di antaranya adalah dengan memperbaiki sisi lemah payung hukum pemberantasan teroris,” ungkapnya. Namun, pemerintah juga harus memastikan penguatan payung hukum itu tidak memunculkan persoalan baru.