Perlindungan untuk Anak yang Terlibat Terorisme
SERANGAN bom bunuh diri di Surabaya pada Minggu dan Senin lalu membuat empat anak teroris menjadi yatim piatu. Semuanya adalah korban. Mereka harus mendapatkan perlindungan dan pendampingan agar terbebas dari paham radikal
Termasuk Aisyah Azzahra Putri, 8. Dia adalah putri bungsu Tri Murtiono yang diajak melakukan bom bunuh diri di pintu masuk Mapolrestabes Surabaya. Dia selamat meski mengalami luka serius karena bom yang diledakkan ayah beserta ibunya, Tri Ernawati.
Selain Aisyah, Ainur Rohman, 15; Faizah Putri, 11; dan Garida Huda Akbar, 10; juga menjadi yatim piatu. Mereka adalah anak teroris Anton Febrianto yang ditembak polisi di Taman, Sidoarjo, Minggu malam lalu. Ibunya, Puspitasari, juga meninggal pada malam itu.
Ainur, tertua di antara tiga bersaudara tersebut, menyelamatkan kedua adiknya ketika bom meledak di rumahnya secara tidak sengaja. Ainur pula yang menunjukkan kepada polisi di mana ayahnya menyimpan bahan pembuat bom.
Komisi Perlindungan Anak In- donesia (KPAI) menegaskan bahwa anak-anak itu adalah korban. Sekalipun mereka ikut membawa bom. ”Anak-anak mudah dipengaruhi lingkungan sekitarnya,” kata Putu Elvina, komisioner KPAI bidang anak berhadapan dengan hukum, kemarin.
Putu menjelaskan, anak yang terlibat dalam kasus pengeboman harus ditangani dengan spesial. Pengambilan berita acara pemeriksaan (BAP) tidak boleh detail. Sebab, hal itu akan membangkitkan trauma. ”Anak di bawah 12 tahun tidak boleh dilakukan tindakan. Sementara mereka yang sudah 14 tahun harus kami asesmen dulu,” ungkapnya.
Kapolda Jatim Irjen Machfud Arifin menyatakan, empat anak teroris itu kini berada dalam penanganan pihaknya. Mereka adalah saksi mahkota. Yang mereka sampaikan akan menjadi petunjuk bagi polisi.
Sependapat dengan Putu, Polda Jatim pun melakukan pendekat- an yang sangat halus kepada mereka untuk menggali informasi. Saat ini polisi hanya menggali fakta keseharian mereka. Mulai jadwal bangun tidur hingga agenda apa saja yang biasa mereka ikuti. ”Seluruh pengakuannya dimungkinkan jadi petunjuk,” kata Machfud.
Aisyah, Ainur, Faizah, dan Garida kini ditempatkan di ruang khusus di RS Bhayangkara Polda Jatim. Salah satu pengakuan yang berhasil didapat polisi adalah mereka pernah disuruh menonton film jihad ala Timur Tengah.
Polisi juga akan melakukan trauma healing dan deradikalisasi kepada empat bocah itu. ”Kami lakukan pendampingan bersama psikolog dan pemerhati anak,” kata Kabidhumas Polda Jatim Kombespol Frans Barung Mangera.
Sebelum ledakan Minggu lalu, Ainur tinggal terpisah dari kedua orang tuanya meski masih satu rusun. Dia tinggal bersama neneknya di unit yang berbeda. ”Mereka ini kami sebut korban indoktrinasi,” ucap Barung.
Untuk mempercepat trauma healing, mereka akan didampingi psikolog dan pemerhati anak. Mereka bakal dibuat senyamannyamannya dengan keadaan sekeliling. Kemudian, ada proses relaksasi progresif untuk mencegah mereka stres.
Psikolog akan mengupayakan setiap informasi yang disampaikan kepada anak-anak tersebut tidak berdampak buruk terhadap kondisi mereka. Khususnya informasi yang berkaitan dengan orang tua anak-anak itu.
Begitu pula halnya terhadap kerabat anak-anak tersebut. Polisi akan memberikan pendampingan. Tujuannya, pihak keluarga ikut memperhatikan tumbuh kembang anak-anak itu agar jauh dari doktrinasi radikal sebagaimana yang dilakukan orang tua mereka. Pihak keluarga juga dibrifing agar tidak keliru dalam menyampaikan informasi kepada empat anak tersebut.