Benih Radikalisme dan Intoleransi Masuk Kampus sejak 1983
Aksi terorisme berakar pada paham radikal dan intoleransi akut. Salah satu wahana yang efektif untuk menyemai itu perguruan tinggi alias kampus. Mahasiswa menjadi sasaran empuknya. Berikut obrolan wartawan Jawa Pos MOH. HILMI SETIAWAN dengan menteri riset, teknologi, dan pendidikan tinggi (Menristekdikti) di Jakarta Selasa (14/5). Perguruan tinggi adalah wahana pendidikan, tapi malah menjadi ladang tumbuhnya radikalisme dan intoleransi. Kok bisa?
Radikalisme dan intoleransi di kampus tidak muncul begitu saja, tetapi sudah lama. Ini kan kejadian sejak 1983. Pada waktu itu, ada normalisasi kampus melalui program BKK (Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Organisasi seperti PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), dan sejenisnya dikeluarkan dari kampus. Dengan begitu, mereka menjadi organisasi ekstrakampus. Nah, kemudian (kampus, Red) diisi lah oleh orang lain yang menamakan diri sebagai mahasiswa.
Kenapa merebaknya baru-baru ini?
Masuknya paham radikal dan intoleransi di kampus sudah menghegemoni. Akibatnya, yang tidak dirasakan rektor-rektor saat itu dituai saat ini. Mereka yang sudah menerima paham radikal dan intoleransi pada periode itu sekarang ada yang menjadi dosen maupun menjadi guru.
Apa upaya Kemenristekdikti untuk membendung radikalisme dan intoleransi di kampus?
Sebelumnya, sudah dilakukan kegiatan bela negara untuk jenjang pendidikan tinggi. Kemudian, juga ada deklarasi antiradikalisme di kampus-kampus. Puncaknya dilaksanakan di Bali. Saya juga akan meminta rektor untuk mengawasi kegiatan-kegiatan di kampusnya. Rektor harus diingatkan kembali untuk memonitor kegiatan di kampus.
Kegiatan penanaman paham radikal dan intoleransi di kampus itu apakah dilakukan secara sembunyisembunyi?
Sebenarnya tidak juga. Bisa dimonitor. Mereka itu biasanya melakukan kegiatan secara eksklusif. Hanya untuk kelompok mereka sendiri. Kegiatan ini bisa dilaksanakan juga di dalam lingkungan kampus.