Bahan Bom Lebih Mudah Didapat di Surabaya daripada Riau
PENYERANGAN teroris ke Mapolda Riau kemarin menyisakan sebuah pertanyaan. Mengapa menggunakan peralatan yang sangat ”manual” dan tradisional? Yakni, pedang dan menabrakkan mobil. Tidak seperti di Surabaya yang menggunakan bom.
Mantan pentolan Jamaah Islamiyah (JI) Ali Fauzi menjawab tegas. ”Karena di Riau kurang bahan dan kurang skill,” ujar mantan kepala instruktur perakitan bom JI Jawa Timur itu
Fenomena itu menunjukkan bahwa Surabaya mempunyai banyak sumber daya yang bisa mendukung aksi terorisme.
Yang pertama adalah bahan peledak. Menurut Ali, bahan peledak yang digunakan Dita Oeprianto cs dalam aksi di Surabaya lalu sangat mudah didapatkan di Surabaya. Dalam bom yang digunakan Dita, ada tiga senyawa kimia yang dipakai. Biasanya dibeli secara terpisah untuk menghilangkan kecurigaan toko kimia yang bersangkutan.
Tiga senyawa kimia tersebut kemudian dicampur untuk menghasilkan gaya dan daya simpatetik. Mereka dicampur, lalu kemudian disaring dengan kertas saring. Hanya, senyawa itu sangat berbahaya karena high sensitive. Kena panas saja bisa meledak. Misalnya, yang terjadi di rusun tempat tinggal Anton yang menewaskan dirinya beserta istri dan seorang anaknya.
Tentu, Jawa Pos tidak akan mengungkapkan apa saja tiga senyawa kimia yang bisa diperoleh secara legal di Surabaya tersebut. Polisi juga mengetahui hal itu. Mereka seharusnya juga mulai mengawasi penjualan-penjualan bahan kimia di Surabaya.
Surabaya dikenal sebagai produsen bahan kimia paling murah. Bagi kalangan kombatan, harga bahan kimia di Surabaya dikenal paling murah jika dibandingkan dengan kota lain di Indonesia. Menurut Ali, tentu mustahil melarang toko kimia menjual bahan tersebut. Sebab, senyawa itu banyak digunakan untuk kepentingan sehari-hari. ’’Jadi, yang bisa dilakukan adalah pengawasan,’’ tegasnya.
Ali juga mengomentari serangan di Mapolda Riau. Menurut dia, itu menunjukkan bahwa jaringan JAD di Riau gagal merekrut mantan kombatan lulusan Mindanao dan Poso. ’’Setahu saya ada banyak di sana. Sebab, saya pernah melatih mereka,’’ ungkap mantan instruktur kombatan di Poso yang pernah melatih lebih dari 3.000 orang tersebut.
Selain itu, teror di Surabaya menunjukkan sebuah fenomena yang memprihatinkan. Yakni, terjadinya transfer ilmu peracikan dan pembuatan bom dari mantan kombatan yang lebih senior. ’’Sebab, teknik peracikan dan pembuatan bom di Surabaya jauh lebih baik ketimbang seranganserangan sebelumnya. Memang belum matang, tapi sudah tergolong bagus,’’ tegas Ali.
Hal itu dibenarkan salah seorang anggota Densus 88 yang ikut menangani kasus tersebut. ’’Ada kekhawatiran hal itu terjadi,’’ lanjut petugas tersebut seraya mewanti-wanti agar namanya tak disebutkan.
Menurut dia, Densus 88 belum bisa memastikan soal itu dan siapa mantan kombatan di Surabaya yang memberikan pelatihan tersebut. Dia lantas menyebut salah seorang ustad berinisial KB.
Inisial nama itu dikenal sebagai salah seorang ideolog garis keras di Surabaya. Namun, dia tidak pernah muncul di permukaan. Hanya dikenal secara underground sebagai ustad yang sangat dihormati di kalangan orang-orang yang menjulukinya ikhwan jihadi.