Deteksi Dini Ancaman Terorisme
SELAIN mengutuk keras-keras aksi terorisme yang merenggut nyawa orang-orang yang tak bersalah, salah satu hal yang mendesak dilakukan adalah bagaimana memahami situasi problematis di balik aksi teror bom bunuh diri yang terjadi. Pemerintah yang selama ini sudah berusaha mengembangkan pendekatan represif dan juga pendekatan yang sifatnya persuasif ternyata tidak juga efektif mencegah perkembangan aksi terorisme di tanah air. Sel-sel terorisme yang sekian lama menarikdiridanbahkan terkesanmati suri tiba-tiba muncul kembali dalam skala yang sangat memiriskan hati.
Kasus aksi pemberontakan napi teroris di Rutan Mako Brimob Jakarta serta teror bom di sejumlah gereja dan kantor polisi di Surabaya adalah bukti bahwa terorisme masih bercokol di tanah air. Bahkan, yang mengejutkan kita semua, aksi teorisme yang kembali marak di tanah air ternyata memperlihatkan hal yang tidak diduga. Yakni, pelaku aksi teror bom bunuh diri ternyata berasal dari satu keluarga yang sama dan mereka adalah orang-orang yang secara ekonomi relatif cukup mapan serta berpendidikan.
Radikalisme Secara umum, karakteristik orangorang yang terlibat dalam aksi teror bom bunuh diri memang tidak selalu orang dari kelas menengah ke bawah. Juga bukan pula orang yang selalu bersikap tertutup hubungan sosialnya dengan para tetangga. Dalam berbagai kasus aksi terorisme, pelaku yang terungkap di media massa sering kali tidak diduga tetangganya sendiri, bahkan tidak pula diduga sanak keluarganya.
Seorang warga yang dikenal ramah kepada tetangga, taat beribadah, dan berpendidikan bukan tidak mungkin di balik itu ternyata adalah teroris yang tengah menyamar sebelum melakukan aksinya yang radikal. Dalam kasus bom bunuh diri di Surabaya, misalnya, pelaku ternyata adalah seseorang yang pernah duduk dibangku kuliah PTN ternama –meski tidak sampai lulus. Artinya, pelaku bukan orang yang tidak berpendidikan, lalu mudah terpengaruh oleh paham radikal secara membabi buta.
Pengalaman selama ini telah banyak membuktikan bahwa radikalisme dan aksi bom bunuh diri yang dilakukan sejumlah pelaku teroris bukanlah sesuatu yang datangnya tiba-tiba. Terorisme bukanlah sebuah aksi instan yang tiba-tiba muncul secara spontan tanpa terencana. Sebagai sebuah sikap dan ideologi yang militan, terorisme adalah sikap yang sering kali tumbuh karena akumulasi kekecewaan yang bercampur baur dengan bujuk rayu yang keliru.
Kalau mau dilacak, tanda-tanda seseorang bakal menjadi teroris sebetulnya sudah bisa dideteksi sejak awal, yakni di masa mereka masih anak-anak atau remaja. Seperti diungkap Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan, dari hasil studi pada 2017, diketahui 39 persen pelajar dan mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi telah terpapar paham radikal. Dari survei yang dilakukan, diketahui 24 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar SMA setuju dengan jihad untuk tegaknya negara Islam.
Jadi, sebagai sebuah aksi dan sikap fanatik pelaku teror, apa yang mereka yakini dan perjuangkan sesungguhnya bukan merupakan hal yang datangnya tiba-tiba. Radikalisme dan fanatisme adalah sebuah sikap yang sering kali tumbuh sejak lama, yang terus berkembang dengan subur, terutama ketika yang bersangkutan tumbuh dalam komunitas yang sama dan saling mendukung.
Akibat preferensi nilai dan paham radikal yang diyakini, orang-orang yang sejak remaja tumbuh di lingkungan yang fanatik akan dengan mudah teperdaya oleh bujuk rayu dan semangat perlawanan yang keliru. Persoalannya di sini bukan pada kepada siapa mereka bersimpati dan kemudian mengajukan diri untuk ikut membela penderitaan masyarakat yang mereka nilai telah teraniaya. Tetapi, masalahnya terletak pada pilihan cara pembelaan yang dilakukan. Seseorang yang terkontaminasi paham radikal berisiko berpikiran keliru dan menganggap jalan kekerasan sah-sah saja dilakukan untuk mengekspresikan protes atau ketidakpuasan mereka.
Deteksi Dini Bagi organisasi terorisme yang dengan sengaja menebar paham radikal dan mencari simpatisan baru, diakui atau tidak, lembaga pendidikan, baik sekolah maupun kampus, adalah habitat yang menjadi target potensial untuk mencari bibit-bibit teroris baru. Bahkan tempat potensial untuk memobilisasi calon teroris anyar. Bisa dibayangkan, seorang pelajar atau mahasiswa yang masih culun dan baru saja mengenal lingkungan sosial barunya, tentu mereka akan menjadi target empuk tawaran ideologi dari berbagai kelompok radikal yang telah banyak beroperasi di lembaga pendidikan. Seorang mahasiswa yang belum mampu memilah mana pengaruh buruk dan mana godaan yang menjerumuskan bukan tidak mungkin akan terperangkap dan menjadi calon teroris potensial di masa depan.
Di berbagai kampus, bukan rahasia lagi, setiap tahun akademik baru, mahasiswa yang baru menginjakkan kaki pada kehidupan kampus akan menjadi target dan rebutan berbagai kelompok kepentingan. Mahasiswa yang mengalami anomi dan teralienasi dari lingkungan barunya bukan tidak mungkin akan termakan bujuk rayu orang-orang tertentu yang pintar secara personal melakukan pendekatan. Mahasiswa baru yang belum memiliki banyak teman biasanya akan senang ketika ada orang lain, apalagi kakak kelas, yang mengajak berbicara dan mengakrabkan diri –tanpa tahu bahwa di balik itu ada motivasi lain yang terkadang menyimpang.
Untuk memotong mata rantai pembibitan dan pola rekrutmen kaum teroris yang menyasar para pelajar dan mahasiswa, saat ini yang perlu dikembangkan adalah bagaimana sekolah maupun kampus mampu melakukan mekanisme deteksi dini. Mencegah pelaku terorisme sejak dini mau tidak mau harus dimulai dari masa remaja. Sekolah dan kampus adalah habitat yang paling menentukan ke arah mana anak muda kita akan tumbuh: menjadi teroris atau anak masa depan bangsa. *) Guru besar Departemen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga Surabaya
Oleh