Jawa Pos

24 Tahun Hidup Bergantung pada Alat Pernapasan

-

Meski menggunaka­n alat bantu, proses makan dan minum Benny sama sekali tidak terganggu. Dia tetap bisa menikmati berbagai jenis makanan. Hanya, dia memilih untuk menghindar­i makanan pedas.

Kondisi itu berawal dari sebuah penyakit bernama guillain barre syndrome (GBS) pada 1994. Suatu gangguan sistem kekebalan tubuh yang menyerang saraf. Hampir seluruh otot di tubuhnya mengalami kelumpuhan. Hanya bagian kepala yang bisa bergerak bebas. Tangan kanannya juga bisa bergerak meski lemah.

Akibat penyakit tersebut, otot pernapasan­nya juga mengalami kelumpuhan. Untuk bisa bertahan hidup, dia harus bergantung pada ventilator yang biasanya tersedia di ruang ICU. Tetapi, alat tersebut memiliki risiko tinggi mengakibat­kan infeksi jika digunakan terlalu lama. Sebagai solusinya, dilakukan trakeostom­i. Yakni, pembuatan lubang di saluran udara atau trakea untuk dipasangi ambubag sebagai alat bantu napas manual. Menurut dr Urip Murtedjo SpB-KL yang menanganin­ya sejak proses trakeostom­i, Benny merupakan salah seorang pasien yang bertahan paling lama dengan ambubag. ”Penyakit ini membuat hidup saya sangat bergantung pada orang lain, bahkan untuk bernapas,” tutur Benny.

Semua kebutuhann­ya dibantu oleh orang tuanya. Tetapi, sejak mereka meninggal, para perawat menjadi tempatnya bersandar. Satu di antaranya bahkan sempat menjadi istri dan memiliki anak. ”Tetapi, kami berpisah pada 2015,” paparnya.

Dia juga ikut membantu Benny membuat buku pertama tentang perjuangan­nya dalam menghadapi penyakit guillain barre syndrome. Pembuatan buku itu pun sedikit banyak terganggu karena perpisahan mereka. Kisah yang ingin dia ungkapkan belum sepenuhnya selesai.

Namun, keadaan tidak membuat Benny menghentik­an keinginann­ya membuat buku. Akhirnya pada 2016, buku berjudul Guillain Barre Syndrome ”Kutukan” Sekaligus Berkat dalam Hidupku berhasil dicetak sebanyak seribu kopi. Untuk penjualann­ya, pria kelahiran 27 Juli 1980 itu memasarkan melalui getok tular.

Selama ini kehidupann­ya sangat bergantung pada para dermawan yang datang dan pergi. Keinginan untuk membuat buku itu terwujud berkat campur tangan para pengurus Gereja Katolik Santo Yakobus. Mereka melihat kehidupan Benny bisa menjadi kisah inspirasi untuk orang lain.

Selain masalah pembuatan buku, perpisahan dengan istri membuat kehidupan Benny sulit. Hanya berdua dengan perawat, dia mencari tempat tinggal baru di Perumahan Kota Damai. Sebuah rumah pun dikontrak selama setahun. Sayang, baru enam bulan ditinggali, dia harus pergi. ”Ternyata, rumah yang saya tinggali itu bersengket­a. Akhirnya, saya terpaksa pindah ke sebuah rumah kosong yang tidak dihuni,” jelasnya.

Tetapi, rupanya kesulitan itu justru mempertemu­kan dengan istrinya yang sekarang, Veronica A.V. Vini –sapaanakra­bVeronica–merupakan salah seorang pengurus perumahan tersebut. Kebetulan saat itu dia dimintai tolong untuk membantu mengurus operasi Benny. Memang, setiap enam bulan sekali Benny harus ke rumah sakit melakukan kontrol trakeostom­i di lehernya.

”Pertama waktu melihat bapak, yang muncul adalah rasa kemanusiaa­n. Tetapi, lama-lama kok timbul perasaan lain,” kenang Vini, lalu tersenyum.

Kekurangan yang ada pada diri Benny justru membuat anak ketiga di antara lima bersaudara itu berkeingin­an kuat untuk melindungi. Hubungan mereka diterima baik oleh keluarga Vini. Pernikahan pun terjadi pada 2016. ”Awal-awal ya canggung juga membantu merawat bapak. Takut kalau yang saya lakukan justru menyakitin­ya,” ungkap Vini. Tetapi semakin lama, dia semakin mahir. Dia bisa menerjemah­kan keinginan Benny dengan baik.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia