Membaca Tren Penurunan Hasil Unas
ADA hal menarik berkaitan dengan pengumuman ujian peserta didik pada tapel (tahun pelajaran) 2017– 2018 ini. Selain pengumuman kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan (sekolah/madrasah) hari ini (28/5), sebelumnya (25/5) diumumkan capaian kompetensi ujian nasional (unas). Berdasar Permendikbud No 4 Tahun 2018 tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Satuan Pendidikan/Pemerintah dan Peraturan BSNP Nomor 0044/BSNP/ XI/2017 bertanggal 28 November 2017, peserta didik bisa dinyatakan lulus dari satuan pendidikan harus memenuhi empat syarat.
Pertama, menyelesaikan seluruh program pembelajaran. Kedua, memiliki nilai sikap/perilaku/moral minimal baik. Ketiga, lulus ujian satuan pendidikan dalam format USBN (ujian sekolah berstandar nasional) yang KKM (kriteria ketuntasan minimal)-nya juga ditentukan satuan pendidikan sendiri. Keempat, peserta didik harus mengikuti unas.
Yang perlu dicermati, sejak tidak lagi menjadi penentu kelulusan, hasil unas dari tahun ke tahun cenderung menurun. Itu bisa dilihat dari menurunnya rerata nilai per mata pelajaran maupun dari kenaikan persentase nilai kategori kurang (< 55). Siswa SMP di Jawa Timur, misalnya, rerata nilai mata pelajaran unas tapel 2017–2018 tercatat 54,51. Rerata nilai unas tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan capaian tapel 2016–2017 (55,23) dan jauh lebih rendah lagi ketimbang capaian pada tapel 2015–2016 (62,61). Sedangkan penurunan rerata nilai unas SMP di bawah 55 (kategori kurang) pada tapel 2017–2018 sekarang ini ada 56,52 persen. Persentase itu jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan capaian tapel sebelumnya, 2016–2017 (55,40 persen), dan tapel 2015–2016 (34,84 persen).
Mengapa hasil unas peserta didik dari tahun ke tahun terus menurun dan persentase nilai unas kategori kurang cenderung meningkat? Setidaknya, ada empat hal diidentifikasi sebagai penyebab.
Pertama, diakui atau tidak, sejak unas tidak lagi menjadi penentu kelulusan, perhatian stakeholders, terutama kepala sekolah, guru, orang tua/wali siswa, dan peserta didik sendiri tidak lagi terfokus kepada unas. Les atau tambahan pelajaran mata pelajaran unas tidak lagi menjadi primadona utama program satuan pendidikan maupun LBB (lembaga bimbingan belajar). Motivasi peserta didik pun ditengarahi menurun. Atas dasar itulah, barangkali yang mendorong Kepala Dinas Pendidikan Jatim Saiful Rakhman (Jawa Pos, 25/5) mewacanakan perlunya kembali hasil unas dijadikan penentu kelulusan siswa. Sudah saatnya dibangun kesadaran semua
stakeholders bahwa ujian adalah bagian dari upaya peningkatan kualitas pendidikan.
Kedua, adanya kenaikan standar soal sebanyak 10 persen dari soalsoal dengan kadar LOTS (lower order thinking skill) menjadi HOTS
(higher order thinking skill). Kemendikbud menyadari bahwa kekalahan pelajar Indonesia setiap ikut event tiga tahunan semacam studi PISA
(programme for international student assessment) karena belum terbiasanya peserta didik mengerjakan soal dengan kadar intelektual tingkat tinggi –dalam kerangka Benjamin S. Bloom (1956)– macam C4 (analisis), C5 (sintesis), dan C6 (kreativitas). Para guru masih berkutat pada pemberian soal-soal ujian dalam kadar intelektual tingkat rendah seperti C 1 (ingatan), C 2 (pemahaman), dan C 3 (penerapan).
Hasil studi PISA terbaru (2015) mengungkapkan, kemampuan pelajar Indonesia di bidang sains, membaca, dan matematika berturutturut berada di peringkat ke-62, 61, dan 63 di antara 69 negara yang dievaluasi. Peringkat tersebut tidak berbeda jauh dibanding hasil studi PISA sebelumnya (2012), bahwa pelajar Indonesia berada di peringkat 64 dari 65 negara yang di studi. Untuk itu, memberikan tantangan kepada peserta didik saat ulangan atau ujian dengan soal-soal HOTS haruslah menjadi kebiasaan.
Ketiga, adanya temuan di lapangan bahwa ada beberapa KD (kompetensi dasar) yang seharusnya diajarkan dan diujikan oleh guru, tetapi justru belum/tidak diajarkan. Hal itu kian memperkuat sigi yang pernah dilakukan Amich Alhumami dari Direktorat Pendidikan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas waktu itu (JP, 29/8/2015) akan rendahnya kompetensi profesional dan kompetensi pedagogis guru, dua dari empat kompetensi guru yang seharusnya dimiliki. Untuk itu, pelatihan terhadap kompetensi guru dan supervisi akademik oleh kepala sekolah/madrasah terhadap pembelajaran guru tetap menjadi program prioritas.
Keempat, adanya peralihan moda unas dari UNKP (ujian nasional berbasis kertas dan pensil) menjadi UNBK (ujian nasional berbasis komputer) masih menemui kendala teknis maupun psikis tersendiri. Putusnya aliran listrik atau jaringan internet saat UNBK berlangsung, misalnya, kerap menjadi ancaman dan gangguan serius bagi para proktor, operator satuan pendidikan, maupun peserta didik. Untuk itu. Kerja sama dinas dikbud dengan PLN maupun Telkom sangat penting. Selain itu, satuan pendidikan melalui dana BOS atau bosda, perlu memperbanyak pengadaan komputer.
Setelah kebutuhan sarana komputer terpenuhi, sekolah perlu memanfaatkan laboratorium komputer tidak hanya pada saat-saat ujian akhir saja. Tetapi, sejak kegiatan pembelajaran berlangsung. Dengan begitu, saat menempuh UNBK, mereka tidak lagi menjadi nervous atau khawatir berlebihan. Tidak bisa dimungkiri bahwa dengan UNBK, indeks kejujuran/integritas hasil unas bisa dijamin. Kendati, di sisi lain hasil unas menurun. Dengan UNBK, prestasi penting, tetapi jujur lebih utama. Bukankah begitu?!
*) Doktor manajemen pendidikan, alumnus Universitas Negeri Malang