Utang, Malaysia, dan Indonesia
DI Malaysia, isu utang negara mencuat saat PM Mahathir Mohamad menyebut utang negara sudah menyentuh angka psikologis 1 triliun ringgit. Itu berarti USD 250 miliar, setara Rp 3.550 triliun. Rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) Malaysia pun disebut sudah mencapai 65 persen.
Maka, langkah populis dan heroik diambil. Perdana menteri berusia 92 tahun itu memotong 10 persen gajinya dan pejabat-pejabatnya. Langkah itu kemudian diikuti oleh banyak anggota parlemen di Malaysia.
Rakyat Malaysia pun ikut bergerak. Muncullah gerakan Please Help Malaysia. Hingga Sabtu lalu, sudah ada 92 donatur dengan total nilai USD 3.633 atau sekitar Rp 51 juta.
Bagaimana di Indonesia? Sama. Isu utang juga terus mengemuka. Ada yang bilang utang Indonesia yang kini tembus Rp 4.000 triliun sudah kritis. Yang lain bilang utang itu masih aman.
Dari sisi rasio utang terhadap PDB, angkanya memang terus naik dalam tiga tahun terakhir. Saat ini ada di kisaran 29 persen. Tapi, angka itu masih jauh di bawah Malaysia yang sudah 65 persen. Juga jauh di bawah batas rasio utang yang diatur dalam undang-undang sebesar 60 persen.
Tapi, tetap ada catatan kritis untuk utang Indonesia. Salah satunya adalah defisit keseimbangan primer yang terjadi dalam enam tahun ini. Nilai defisitnya memang dalam tren turun. Dari Rp 142,5 triliun pada 2015 menjadi Rp 121,5 triliun tahun lalu. Tahun ini pemerintah menargetkan defisit bisa ditekan menjadi Rp 87 triliun.
Tapi, sepanjang defisit tersebut masih terjadi, itu ibarat gali lubang tutup lubang. Artinya, pemerintah membayar sebagian utang pokok beserta bunganya dengan utang-utang baru. Ini masalah serius yang harus segera diatasi.
Maka, ketika penerimaan perpajakan belum bisa digenjot sehingga utang masih diperlukan, pemanfaatannya harus benar-benar produktif.
Sebagian dana dari utang itu kemudian ditransfer ke daerah sehingga optimalisasinya harus dikawal. Belanja pemerintah pusat harus diefektifkan. Pemerintah dan anggota parlemen tidak perlu ikut latah dengan memotong 10 persen gajinya seperti di Malaysia.
Cukup tunjukkan kinerja yang efektif, yang bagus. Berikan layanan publik yang baik dan tidak berbelit. Juga redam nafsu korupsi.
Namun, jika hal-hal itu tidak bisa diwujudkan, sementara utang negara terus membengkak, para pejabat harus berbesar hati, tak perlu sewot, jika ada rakyat yang terus membanding-bandingkannya dengan Mahathir di negeri jiran.