Jawa Pos

EMPAT BULAN BANGUN SET

-

Novel Bumi Manusia karya sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer menempuh perjalanan panjang sebelum diangkat ke layar lebar. Film itu diproduksi Falcon Pictures dan disutradar­ai Hanung Bramantyo. Bersama penulis naskah Salman Aristo, Hanung all-out mewujudkan dunia Minke.

KETIKA kuliah semester III di IKJ, sekitar 1996 atau 1997, Hanung pernah menghadap Pram, sapaan Pramoedya. Dia mengutarak­an niat memfilmkan Bumi Manusia, novel fenomenal yang kali pertama terbit pada 1980. Suami aktris Zaskia Adya Mecca itu membaca karya Pram sejak SMA. ’’Baca novel Pak Pram waktu itu jadi suatu hal yang sangat keren karena bisa sembunyi-sembunyi dari aparat,’’ kenang Hanung saat pengenalan cast di Desa Gamplong, Sleman, Jogjakarta, Kamis (24/5). Bagaimana respons Pram mendengar ucapan mahasiswa yang baru berusia 20-an tersebut? ’’Pak Pram tertawa. Lalu, dia bilang, ’Novel saya ini sudah ditawar (sutradara AS) Oliver Stone. Mohon maaf saya tidak bisa bantu kamu,’’ kata Hanung menirukan jawaban Pram.

Saat akhirnya benar-benar ditunjuk Falcon Pictures untuk menyutrada­rai film Bumi Manusia, Hanung sangat bersyukur. ’’Saya fanboy Pram sejak remaja. Ini benar-benar mimpi yang terwujud,’’ tuturnya. Salman Aristo yang digandeng Hanung untuk menggarap skenario tidak kalah excited.

Dia mengerjaka­n naskah dengan sangat hatihati. ’’Ini diambil dari novel mahakarya dan saya pribadi pengagum Pram,’’ ucap Salman. Untuk mewujudkan dunia Minke yang sempurna, Hanung dan timnya bekerja sangat keras. Mereka membangun set syuting di Desa Gamplong, Sumberraha­yu, Kabupaten Sleman, Jogjakarta. Letaknya sekitar 20 kilometer dari pusat kota Jogja. Gamplong merupakan desa wisata. Dikenal sebagai penghasil kain tenun. Di sana terdapat lahan seluas 10 hektare yang digunakan untuk set film. Namun, yang dipakai baru sekitar 2,3 hektare. Sebelum mengenalka­n cast, Hanung menunjukka­n set syuting yang baru setengah jadi tersebut. Di lokasi itu, terdapat dua set utama. Yakni, bangunan-bangunan Batavia seperti benteng dan kawasan pecinan. Hanung lantas mengajak berjalan ke arah bangunan dua tingkat yang masih dikerjakan. ’’Ini set rumah Annelies. Masih 50 persen memang, dibangun permanen untuk memastikan aman digunakan syuting,’’ jelas sutradara yang sebelumnya menggarap film Sang Pencerah,

Kartini, dan Sultan Agung tersebut.

Rumah Annelies memegang peran cukup penting dalam novel. Bangunan itu bukan hanya tempat pertemuan Minke dengan Annelies. Lebih penting dari itu, di sanalah Minke yang semula menganggap rumah tersebut angker dan sangat Belanda melihat seorang perempuan berwajah Jawa, tetapi berpikiran Eropa. Yaitu, Nyai Ontosoroh, ibu Annelies. Nyai Ontosoroh yang dipandang sebagai gundik oleh masyarakat setempat justru mengembang­kan nilainilai humanis di rumah tersebut.

Sekitar 300 meter dari rumah itu, ada set kedua. Yakni, set kawasan Kranggan, Surabaya, yang banyak menjadi latar dalam novel. Tampak beberapa bangunan rumah dan kawasan pecinan. Di tengahnya terdapat jalur trem uap. ’’Gambaran kotanya seperti ini, nanti ditambahka­n CGI,’’ ungkap Hanung.

Menurut Hanung, membangun set baru merupakan pilihan yang lebih efektif daripada menggunaka­n tempat yang sudah ada. Daripada, katakanlah, syuting di Surabaya sungguhan. Sebab, tampilan kota saat ini telah berubah drastis. ’’Apakah fungsinya masih sama dengan era 1800–1900-an? Banyak yang sudah jadi rumah pribadi dan toko kelontong. Kalau harus syuting di sana, berarti kami mengubah fungsi, mengganggu mobilitas warga setempat,’’ paparnya.

Set Bumi Manusia sendiri mulai dibangun tiga bulan lalu. Dijadwalka­n selesai sebelum syuting dimulai pertengaha­n Juli mendatang. Total, dibutuhkan waktu sekitar empat bulan. Hanung menuturkan, lokasi tersebut nanti bisa digunakan para sineas lain yang ingin membuat film-film biopik sehingga tidak harus mengeluark­an biaya yang terlalu besar.

Pemikiran itu berawal dari pengalaman­nya saat belajar film di sanggar teater Teguh Karya. Dia melihat, rumah Teguh yang luasnya sekitar 2.000 meter persegi dipakai untuk set syuting. ’’Bisa untuk set kos-kosan, hotel, bahkan tempat kumuh, apa saja. Itu hal yang luar biasa,’’ ujarnya. Karena itu, ketika membuat film

Sang Pencerah (2010), Hanung memutuskan untuk membangun set sendiri.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia