Dampingi Anak Menggunakan Media Sosial
SUSANTO
Perlindungan terhadap anak perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius. Apalagi dari potensi bahaya radikalisme dan terorisme. Kasus di Surabaya menjadi salah satu contoh anak jadi korban yang dilibatkan dalam kasus terorisme. Berikut wawancara khusus wartawan Jawa Pos JUNEKA SUBAIHUL MUFID dengan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto. Bagaimana memberikan perlindungan kepada anak, terutama dari bahaya radikalisme dan terorisme?
Kesatu, melalui pendidikan. Guruguru harus dipastikan melakukan deteksi sekaligus intervensi mencegah agar anak tidak terpapar radikalisme. Yang kedua, harus dipastikan pendidikan keorangtuaan mengintegrasikan dan menginset perspektif pencegahan radikalisme. Yang ketiga, peran serta masyarakat juga penting agar anak-anak tidak menjadi korban radikalisme. Yang keempat tentu proteksi maksimal dari negara, terutama dari kontenkonten yang bermuatan negatif di dunia internet. Sebab, dalam sejumlah kasus, anak membaca konten (radikalisme) itu dan akhirnya terinfiltrasi radikalisme.
Pengawasan media sosial oleh keluarga seharusnya seperti apa?
Ya, keluarga penting juga dalam memantau pergerakan komunikasi anak dalam media sosial. Jangan sampai anak-anak berkomunikasi dengan orang-orang tak bertanggung jawab, bahkan juga jaringan radikal, itu berbahaya sekali. Karena pernah ada juga itu kasus yang kami tangani.
Tapi, selama ini orang tua kadang kesulitan untuk mengawasi anak?
Ya, tentu harus diberikan pencerahan kepada anak-anak kita. Diberikan literasi yang sehat agar anak-anak kita tidak terpapar potensi negatif dari media sosial. Bukan hanya potensi radikalisme lain, tapi termasuk kasus kekerasan, juga sadisme dan sebagainya.
Apa yang secara pribadi Bapak lakukan di keluarga sendiri?
Saya biasakan dampingi. Mendampingi anak menggunakan media sosial. Kemudian ngecek anak itu. Dan itu pun karena usia masih muda, tentu harus seminim mungkin.