725 Tahun Surabaya Terdisrupsi
PERISTIWA heroik kemenangan prajurit laut Majapahit pimpinan Raden Wijaya atas pasukan Tartar pimpinan Kubilai Khan pada 31 Mei 1293 yang diperingati sebagai tonggak sejarah lahirnya Kota Surabaya kali ini terasa berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Ledakan bom di tiga gereja pada 13 Mei lalu menandakan sesuatu yang tidak harmoni terjadi di kota ini.
Tragedi kemanusiaan di Minggu pagi itu menyakitkan hati warga Surabaya. Merujuk pada konsep yang kerap diulas Prof Rhenald Kasali (2017), boleh jadi peristiwa ini merupakan ’’disruption’’ bagi kehidupan di Kota Surabaya. Aktivitas rutinitas normal terpaksa melambat atau bahkan sementara terhenti.
Ya, disruption yang dalam konteks kemanusiaan menggugah kegetiran itu menguras energi dan emosional warga untuk mengumpulkan kembali ikatan kebersamaan sebagai warga yang dikenal dengan jati diri pemberani dan guyub. Disruption mengingatkan warga Surabaya akan ’’core competency’’ yang dimiliki. Pintu maaf dan pengampunan dibuka selebar-lebarnya oleh keluarga korban dan pemuka agama Gereja Santa Maria Tak Bercela, GKI Diponegoro, dan GPPS Arjuno. Inilah signal ’’core competency’’ warga kota yang mudah mengulurkan cinta kasih.
Banyak pengalaman yang menunjukkan bahwa orang Surabaya tidak hanya dikenal sebagai komunitas dengan gaya berbahasa yang kerap kali dinilai kasar jika dibandingkan gaya bertutur warga dari daerah lain, juga tidak hanya bisa membuat kerusuhan (bonek) di ibu kota negara. Orang Surabaya juga dikenal sebagai komunitas yang menjunjung tinggi nilai-nilai solidaritas, keterusterangan, pengorbanan, dan berprestasi.
Dalam kaitannya dengan pluralitas, orang Surabaya yang dikenal memiliki budaya arek, di antaranya memiliki sifat tegar, tidak mau dijajah, dan peduli pada orang lain, merupakan faktor dominan yang bertahun-tahun terbukti sukses dan berhasil memperkecil munculnya konflik antaretnis. Di akhir kekuasaan Orde Baru, misalnya, tatkala ibu kota Jakarta dilanda kerusuhan etnis berskala masal, Surabaya terselamatkan meski ada riak-riak kecil. Budaya arek ini menganggap tidak fair bila ada perbedaan perlakuan antaretnis.
Dalam konteks disruption yang diulas Prof Rhenald Kasali, mungkin ini pertanda jebakan kesuksesan (success trap) yang membuat warga kota dan pemangku kepentingan di kota ini terlena atau kurang waspada. Ancaman radikalisme secara nyata ’’menegur’’ agar nilai kemanusiaan dan persatuan harus lebih di depan, lebih menarik, dan lebih banyak memenangkan hati warga.
Autar Abdillah (Jawa Pos, 30/10/07) dengan mengutip Sugiyarto (Penga- ruh Alam terhadap Kehidupan Sepanjang Sungai Brantas, dalam Wiwik Hidayat, 1975: 43) menuliskan, berkaitan dengan letusan Gunung Kelud yang menutupi sebagian besar sungai-sungai turut menciptakan karakter budaya arek. ’’Letusan gunung berapi, hujan lebat, dan angin besar yang sering memberikan tantangan kepada penghuni sepanjang Kali Brantas dijawab dengan tindakan-tindakan setimpal, dengan pikiran-pikiran yang mendalam dan matang guna mengatasi kesulitankesulitan yang ditimbulkan oleh alam. Tantangan-tantangan tersebut merupakan gemblengan bagi nenek moyang kita. Mereka tidak melarikan diri dari kesulitan-kesulitan itu, tetapi berusaha keras menundukkan dan mengatasinya. Maka, timbullah kebudayaan yang berkembang dengan pesat akibat tantangan-tantangan tersebut. Mental dan fisik digembleng, menimbulkan renungan-renungan yang kemudian menjiwai tata kehidupannya dan mendasari kehidupannya sebagai bangsa yang militan. Ujung Galuh menjadi tempat penting dan kemudian menyebabkan lahirnya Surabaya sebagai tempat yang ditakdirkan selalu harus wani ing pakewuh, berani menghadapi kesukaran.’’
Myelin
Pakar manajemen perubahan Prof Rhenald Kasali dengan judul Myelin
(2010) memberi penegasan betapa penting pengelolaan intangible assets
suatu produk, perusahaan, bahkan bangsa untuk melakukan percepatan kemajuan dan keunggulan masingmasing. Menurutnya, selama ini ada kesalahan mindset dan practice
yang membumi di bangsa Indonesia dengan hanya memberikan singgasana yang terhormat pada brain memory. Memori yang terbentuk dari pengetahuan ini tidak dapat berdiri sendiri, diperlukan muscle memory
yang terletak di seluruh jaringan otot manusia yang terbentuk karena latihan yang terus-menerus.
Kita bisa merasakan ada atau tidaknya intangible dan myelin dari mudah atau sulitnya melakukan perubahan, dari getaran-getaran inovasi atau pergeseran usaha. Intangible itu sendiri berasal dari dua sisi, di internal berwujud dalam hal value & creation, skill, knowledge, teamwork. Sementara itu, external intangibles mewujud dalam kepercayaan, reputasi, brand image, brand loyalty. Peran myelin (muscle memory)
semakin penting guna membentuk banyak dimensi yang dibutuhkan untuk membangun daya saing suatu bangsa, di antaranya, gesture, kecepatan, spontanitas, sikap hidup yang menunjukkan action oriented, inisiatif, respons, disiplin, intrapreneuring, knowledge management,
dan sebagainya.
Di sektor pariwisata, myelin yang menggerakkan industri hospitalityini
sangat diperlukan yang secara kasatmata dapat dirasakan melalui kualitas layanan yang diberikan, agresivitas melakukan ekspansi pasar, totalitas dan integritas dalam profesi, hingga jaminan kepuasan customer.
Di usianya yang ke-725 tahun ini, warga, para leader, dan pemangku kepentingan Kota Surabaya perlu terus-menerus melatih muscle memory. Di sini kita melihat, kearifan lokal yang tertuang dalam budaya arek menyatukan aset tak berwujud guna membangun kembali sendi kehidupan bersama yang menjadi ’’core competency’’ warga Kota Surabaya selama bertahuntahun, sejak era Majapahit, pendudukan VOC, masa revolusi dan awal kemerdekaan, hingga transformasi era reformasi hingga saat ini. Selamat ulang tahun, Surabaya. *) Dosen Hotel & Tourism Business Fakultas Pariwisata Universitas Ciputra Surabaya