Perlu Ada Pelatihan Mendeteksi Radikalisme bagi Guru
HARRIS ISKANDAR
Kasus bom gereja di Surabaya beberapa waktu lalu membuat banyak orang terhenyak. Sebab, teror bom tersebut dilakukan satu keluarga. Ayah, ibu, dan anak-anaknya. Berikut perbincangan wartawan Jawa Pos M. HILMI SETIAWAN dengan Dirjen PAUDDikmas (Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat) Kemendikbud Harris Iskandar. Bagaimana Anda melihat kasus teror bom di Surabaya yang melibatkan seluruh anggota keluarga?
Semua sekarang sedang berpikir. Bom sekeluarga di Surabaya itu baru di dunia. Baru di Indonesia melibatkan anak dan keluarga dalam aksi teror. Jadi, meskipun polisi jago melacak jejak digital, kasus seperti ini tetap sulit dilacak. Komunikasi sekeluarga bisa dengan bisik-bisik. Komunikasi suami, anak, istri tidak pakai instrumen.
Ketika anak di sekolah menunjukkan sikap radikalisme, apa yang harus dilakukan guru?
Pada kasus di Surabaya, bagaimana guru bisa mengetahui bahwa anak itu radikal dan bakal jadi pelaku bom bunuh diri. Di sekolah, si anak biasa-biasa saja. Sama seperti anak-anak pada umumnya. Selain itu, anak tersebut juga pandai. Guru-guru memang belum sensitif terhadap radikalisme.
Lalu, bagaimana supaya sekolah ikut andil mencegah radikalisme?
Menurut saya, perlu ada pelatihan khusus anti radikalisme. Mulai guru jenjang PAUD. Jadi, guru lebih sensitif dan bisa mengetahui kalau ada anak didiknya yang radikal. Kalau yang sekarang melalui budi pekerti, pendidikan karakter, itu masih terlalu luas. Harus bisa lebih khusus soal radikalisme.
Apakah ada contohnya di negara lain?
Yang saya tahu di Inggris. Guru-guru mulai jenjang pendidikan usia dini sudah dilatih untuk mendeteksi radikalisme. Bukan hanya guru, tetapi juga lapisan masyarakat. Beberapa LSM juga.
Apakah anak-anak pelaku teror atau anak yang terpapar radikalisme tidak diizinkan bersekolah?
Jangan. Mereka tetap berhak atas akses pendidikan.