Sha Ine Tuangkan Rasa Rindu Cut Nyak Dhien
Monolog yang Melalui Riset di Sumedang
SURABAYA – Perempuan itu berjalan pelan. Sayup-sayup sebuah lagu khas Aceh terdengar menemani perjalanannya. Di tangan kanannya, dia membawa lampu teplok. Temaramnya lampu kekuningan itu membuat wajahnya tak terlihat jelas. Samar-samar perempuan tersebut duduk di kursi kayu panjang.
”Nanggro,” serunya. Teriakan pilu itu menjadi tanda rindunya yang membuncah. Rasa rindu Cut Nyak Dhien pada tanah kelahirannya, Aceh.
Meski kini penglihatannya tak lagi optimal, Cut Nyak Dhien tahu betapa berbedanya suasana tempat tubuhnya kini berada dengan tanah kelahirannya. ”Bukan kesepian yang membuatku sedih, tapi perasaan terasing,” ucapnya.
Cut Nyak Dhien mulai mengenang masa lalunya. Cut Nyak Dhien mengingat bagaimana dulu dirinya bercerita mengenai hikayat kepahlawanan Datuk Makhudum Sati kepada anakanaknya. Darah laki-laki Minangkabau itu turut mengalir dalam tubuhnya melalui Teuku Nanta Seutia, ayah Cut Nyak Dhien.
Cut Nyak Dhien dinikahkan saat masih berusia 12 tahun. Rasa cintanya diberikan untuk sang suami, Teuku Ibrahim. Teuku Ibrahim bukan lakilaki sembarangan. Dia adalah seorang pejuang yang tak pernah menyerah melawan bangsa Kaphe. ”Namun, seberapa kerasnya Teuku Ibrahim, aku adalah istrinya. Yang tahu bagaimana cara melunakkan hatinya,” kenang Cut Nyak Dhien.
Alunan cello menemani cerita Cut Nyak Dhien. Dia mulai mengingat hari kelabu itu. Firasat dan langit mendung membuat hati Cut Nyak Dhien gelisah tak keruan. Hari itu adalah hari perpisahannya dengan kekasihnya. Belum sembuh luka di hatinya, Cut Nyak Dhien mendapat lamaran dari lelaki lain. Teuku Umar, lelaki gagah berani yang jatuh cinta kepadanya.
Namun, pernikahan itu tidak berlangsung lama. Untuk kali kedua, Cut Nyak Dhien kehilangan kekasih hatinya. Teuku Umar tewas dibunuh penjajah karena seorang pengkhianat di pasukannya. Rasa sedih Cut Nyak Dhien seakan menyihir penonton yang memadati Gedung Kesenian Cak Durasim Selasa malam (29/5).
Sosok Cut Nyak Dhien dikenal sebagai perempuan tangguh yang ikut berperang melawan penjajah. Namun, kini ditampilkan perempuan yang lemah lembut. Karakter itu ditulis dan diperankan dengan apik oleh Sha Ine Febriyanti pada Selasa malam (29/5). ”Aku ingin mengangkat sisi dia sebagai ibu dan sebagai istri,” ucap Sha Ine.
Penampilannya Selasa lalu merupakan penampilan ke-14 yang dihelat di 10 kota bersama Bakti Budaya Djarum Foundation. Ine menjelaskan tantangan dalam setiap penampilan selalu berbeda. ”Karena karakter setiap penonton berbeda. Teater itu kan pertunjukan hidup. Energinya langsung bersentuhan dengan penonton,” jelasnya.
Dalam pembuatan naskah monolog, Sha Ine lebih banyak menghabiskan waktu untuk melakukan riset di Sumedang. ”Saat itu, saya malah belum pernah ke Aceh,” imbuh Pemeran Utama Wanita Terpuji Festival Film Bandung 2016 tersebut. Hal itulah yang kemudian menginspirasinya tentang rasa rindu Cut Nyak Dhien terhadap tanah kelahirannya. Cut Nyak Dhien meninggal di tanah pengasingan pada 1908.
Sha Ine menjelaskan, dirinya ingin membawa masyarakat saat ini untuk lebih mengenal perjuangan Cut Nyak Dhien. ”Mungkin dengan monolog ini, kita semua yang hidup 100 tahun setelah Cut Nyak Dhien dan pahlawan lainnya bisa mengenal secara dekat,” ungkap perempuan yang merambah seni peran dan teater sejak 1999 itu.