Pancasila dalam Tindakan Nyata
Refleksi Hari Kelahiran Pancasila
PANCASILA yang lahir pada 1 Juni1945 merupakan ideologi negara yang paripurna. Meskipun demikian, kaum ekstremis dan radikal masih saja akan mengganti Pancasila dengan ideologi lain. Namun, Pancasila tetap kukuh, sekukuh batu karang. Oleh karena itu, Pancasila lahir dalam ikatan sejarah bangsa yang heroik dan sebagai representasi dari jati diri keindonesiaan.
Dalam eksistensinya, Pancasila bukan sekadar jalinan kata-kata mutiara, bukan juga hanya teks sakral. Pancasila adalah kristalisasi nilai keindonesiaan yang berakar pada kearifan lokal bumi pertiwi yang digali Bung Karno, sang proklamator negara RI. Kita tidak cukup pula terhenti memaknai Pancasila hanya sampai di situ. Namun, kita kini perlu memaknai Pancasila hingga pengejawantahannya pada tingkat tindakan nyata. Artinya, tindakan nyata kita sehari-hari yang mencerminkan pemaknaan atas Pancasila.
Bagaimana potret tindakan nyata kita yang bersumber dari Pancasila di negara kita? Sudahkah tindakan nyata kita seiring sejalan dengan nilai dan spirit Pancasila? Inilah yang mesti kita tunjukkan secara konsisten sebagai warga bangsa yang berideologikan Pancasila. Jika mengakui Pancasila sebagai ideologi negara, kita seyogianya tidak hanya sebatas menghormati dan menghargai nilai serta semangatnya, atau hanya sebatas mewacanakannya, tapi juga harus sampai mengejawantahkannya dalam tindakan nyata.
Blummer –seorang ahli sosiologi kontemporer– dalam teori interaksional-simboliknya menyebutkan bahwa tindakan seseorang sangat bergantung kepada bagaimana seseorang memaknai sesuatu. Itu berarti, jika kita memaknai Pancasila sebagai ideologi negara yang memiliki nilai dan semangat yang luhur, tindakan nyata kita pun mesti mencerminkan pemaknaan keluhuran Pancasila seperti itu.
Sebagai generasi warga bangsa yang mengakui Pancasila sebagai ideologi negara, semua tindakan nyata kita seharusnya tidak bertentangan dengan butir-butir Pancasila. Misalnya, masih banyak perilaku korup yang terjadi mencerminkan nilai dan spirit Pancasila belum diimplementasikan secara taat asas sebagai landasan bertindak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Masih banyak contoh tindakan nyata lainnya yang masih bertentangan dengan nilai dan spirit Pancasila yang tidak disebutkan satu per satu di sini. Itu terjadi karena ideologi negara Pancasila yang masih kurang terhayati dan teramalkan secara baik di seluruh lapisan masyarakat.
Adanya tindakan nyata yang belum taat asas dengan spirit dan nilai Pancasila itu tidak berarti entitas Pancasilanya yang tidak cocok, tetapi karena tindakan orang-orangnya yang masih belum mampu mengejawantahkannya. Oleh karena itu, masih sangat perlu dilakukan sosialisasi dan internalisasi terusmenerus pada semua generasi warga bangsa. Pancasila sebagai ideologi negara juga perlu diimplementasikan dalam tindakan seharihari. Untuk bisa melakukan itu, sebelumnya tentu saja perlu didahului dengan pemahaman dan penghayatan atas nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Pada masa Orde Baru, Pancasila sebenarnya sudah pernah diupayakan untuk dipahami, dihayati, dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara merata. Sayangnya, ketika itu, misi kuatnya lebih bernuansa politisasi Pancasila oleh penguasa Orde Baru. Pada saat ini dan ke depan, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila tersebut sebenarnya tetap perlu terus-menerus disosialisasi dan diinternalisasi. Dengan begitu, Pancasila menjadi semakin dekat dan akrab dalam kehidupan warga bangsa dan bisa diwujudkan dalam tindakan nyata.
Setiap generasi warga bangsa tidak hanya cukup sebatas hafal dengan butir-butir Pancasila, tetapi seharusnya lebih jauh dari itu. Setiap butir Pancasila itu mesti terpahami dan terhayati nilainya. Dan, pada gilirannya, setiap generasi warga bangsa akan mampu mengimplementasikannya dalam tindakan nyata. Itu dapat dilakukan dengan memperkuat pendidikan kewargaan di sekolah-sekolah atau di kampus-kampus.
Menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk terlebih dahulu menjadikan generasi anak-anak kita sebagai anak bangsa Indonesia. Artinya, jati diri setiap anak bangsa mesti dibangun supaya benar-benar berjati diri sebagai orang Indonesia yang sangat mencintai negaranya. Dengan kecintaan itu, anak bangsa akan berdedikasi tinggi terhadap negara atau tanah airnya. Bukan justru sebaliknya, tak memiliki kecintaan kepada bangsa dan negara yang berakibat pada tak memiliki dedikasi terhadap bangsa dan negara. Untuk itu, bagaimana menyemai dan menumbuhkan sikap cinta dan simpati terhadap bangsa dan negara sendiri. Dan, bukan sebaliknya, tumbuh sikap antipati terhadap bangsa dan negara sendiri.
Benih-benih paham ekstremisme dan radikalisme yang melahirkan terorisme di negeri kita ini dan yang menyebabkan timbulnya tindakan nyata antipati terhadap bangsa dan negara mungkin dapat dipersepsi sebagai satu wujud masih lemahnya penghayatan dan pemahaman atas nilai dan spirit Pancasila. Oleh karena itu, diperlukan penguatan penghayatan dan pemahaman atas spirit dan nilai butir-butir Pancasila secara berkesinambungan pada setiap generasi warga bangsa. Penguatan tersebut sangat penting karena berimplikasi kepada tindakan nyata. (*)
*) Guru besar dan dosen pada Fakultas Ilmu Budaya Unair