Ada Paradigma Keliru Orang Dewasa soal Anak
KAK SETO
Anak yang terpapar intoleransi atau radikalisme sebenarnya adalah korban. Kampanye perlindungan anak sudah cukup lama diembuskan. Namun, aneka kasus pelanggaran perlindungan anak masih terjadi. Berikut wawancara wartawan Jawa Pos M. HILMI SETIAWAN dengan Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) ’’Kak’’ Seto Mulyadi. Kekerasan pada anak masih kerap terjadi, kenapa?
Ada paradigma keliru pada orang dewasa dalam memandang anak. Anak dianggap komunitas kelas bawah. Karena itu, anak bebas dilanggar haknya atau tumpuan kesalahan. Anak sering tanya, karena memang pengin tahu, disalahkan. Anak tidak dilihat sebagai calon manusia yang sedang menjalani proses belajar dengan penuh rasa ingin tahu.
Masih ada cap anak nakal. Menurut Kak Seto?
Anak yang dicap nakal itu sebenarnya kreatif. Anggapan bahwa anak baik itu yang serba-nurut justru yang merusak.
Banyak orang tua mengidamkan anak yang patuh. Bagaimana?
Jangan kita bermimpi punya anak yang patuh atau penurut. Tapi, bermimpilah punya anak yang mandiri dan bekerja sama. Anak yang menjalankan salat, puasa, atau ibadah lain bukan karena takut dimarahi, tetapi melakukannya karena dorongan dari dalam diri sendiri. Bagaimana cara menumbuhkannya? Itu tugas orang tua untuk mendidik sekaligus menjadi sahabat bagi anak.
Bagaimana menghindari konflik dengan orangtua anak yang dicap radikal?
Di dalam UU Perlindungan Anak diamanatkan, ketika ada perlakuan salah, orang dewasa yang mengetahuinya wajib menolong si anak itu. Minimal melapor ke polisi. Perlakuan salah itu seperti anak diajari intoleransi, radikalisme, disuruh mencuri, atau mengedarkan narkoba. Melindungi anak itu perlu orang satu kampung.
Bagaimana cara menanamkan toleransi kepada anak?
Sejak usia dini di sekolah ditanamkan pemahaman bahwa kita hidup seperti di taman bunga.