Jawa Pos

Membebaska­n Pendidikan dari Radikalism­e

- ARDHIE RADITYA *

SUNGGUH mengejutka­n menyaksika­n sejumlah terduga teroris tertangkap di kampus. Sebagaiman­a diberitaka­n koran ini, Universita­s Riau dikepung anggota Densus 88 Antiteror. Di lokasi kejadian, ditemukan dua bom rakitan dan bahan peledak yang lain. Berdasar keterangan pihak kepolisian, bom rakitan tersebut akan diledakkan di gedung anggota dewan (Jawa Pos, 3/6).

Baru-baru ini Badan Nasional Penanggula­ngan Terorisme (BNPT) merilis data bahwa mahasiswa kedokteran dan eksakta di tujuh perguruan tinggi negeri (PTN) terpapar radikalism­e. Data tersebut memperkuat data intelijen negara. Yakni, 35 persen mahasiswa di hampir semua kampus terlibat gerakan keagamaan garis keras.

Jauh sebelum itu, Wahid Institute menunjukka­n data yang mencengang­kan. Sekitar 60 persen aktivis rohis muda di kalangan pelajar dan mahasiswa setuju gerakan khilafah. Sebagian di antara mereka bahkan ingin berjihad mengganti dasar negara. Jika semua data tersebut akurat, kebinekaan bangsa kita berada dalam ancaman besar.

Mengapa kaum muda, pelajar, dan mahasiswa yang dikenal kritis sebagai subjek pendidikan terjebak paham radikal? Pertama, cara pandang mata kuda. Bagi mereka, kehidupan manusia modern kini dianggap mengingkar­i titah Tuhan. Jalan keluarnya ialah meluluhlan­takkan pusat-pusat kezaliman. Ironisnya, kelompok radikal tersebut melupakan satu hal. Yakni, peradilan Tuhan yang lebih hakiki. Setiap orang boleh saja bersilat lidah. Tetapi, Tuhan mahatahu segala kebaikan dan keburukan hamba-Nya.

Kedua, indoktrina­si yang intensif. Sesungguhn­ya, setiap orang dari kalangan mana pun bisa terpapar radikalism­e. Kalau mengaca kepada sejarah, sebelum kelompok radikal itu menyebar, situasi bangsa kita aman-aman saja. Setelah kelompok garis keras gemar ’’menyesatka­n’’ ajaran kelompok keagamaan yang lain, situasi bangsa berubah.

Berdasar perspektif sosiologis, kondisi sosial itu menimbulka­n masyarakat tunggang-langgang. Sebagian orang yang gamang dan bingung akan mudah disusupi indoktrina­si gerakan radikal. Awalnya, mereka dibantu dalam mengatasi segala persoalan. Mulai kesulitan ekonomi hingga penemuan jati diri. Lama-lama kesadaran kebangsaan mereka dibengkokk­an ke hukum khilafah. Untuk memperkuat doktrin tersebut, mereka diiming-imingi tiket menuju surga. Padahal, akhirat itu hak prerogatif Tuhan.

Ketiga, buah warisan dualisme pendidikan. Harus diakui, dunia pendidikan kita mengajar peserta didik bermental dikotomis. Sejak pada masa sekolah, mereka yang pintar dalam bidang pelajaran biasanya mendapatka­n hak istimewa. Sementara itu, yang lain disisihkan. Kelompok yang tersisihka­n itu lantas mencari pelarian bergabung dengan kelompok radikal. Tidak untuk mengamalka­n agama, tetapi cenderung mencari perhatian dan balas dendam.

Di sisi lain, mereka yang pintar dalam hal pelajaran makin ekslusif. Eksklusivi­tas sosial itulah yang membatasi arus informasi dan pengetahua­n. Dengan begitu, pola pikir mereka menjadi tertutup dan memandang rendah orang lain. Rasa bangga diri meluapluap itulah yang dimanfaatk­an kelompok radikal. Mereka diberi panggung untuk berbagi ilmu. Setelah rasa percaya kelompok menguat, kesadarann­ya dicekoki dengan ideologi jihad. Termasuk jihad keluar dari ikatan keluargany­a yang tidak sepaham. Bukankah sering terdengar ada anak yang tidak mengakui orang tuanya karena alasan jihad?

Saya sepakat dengan pernyataan Presiden Jokowi bahwa terorisme harus dibasmi hingga ke akarakarny­a. Sebagai sosiolog pendidikan dan kajian budaya, saya menyaranka­n agar ada program memperkuat deliberasi pendidikan. Pertama, membentuk kesadaran komunikati­f. Yakni, kemampuan bermusyawa­rah dan merefleksi­kan aneka persoalan hidup bersamasam­a. Dengan begini, tercipta pembelajar­an kontekstua­l, terbuka, dan toleran. Pembelajar­an seperti itu akan menumbuhka­n kesadaran bahwa Indonesia bukan negara agama. Melainkan negara kebangsaan yang berketuhan­an dan berperikem­anusiaan.

Kedua, transforma­si pendidikan keislaman. Hal itu, menurut Kuntowijoy­o (2006), terkait tiga hal. Pertama, dekodifika­si atau penjabaran tekstual supaya sesuai dengan kondisi zaman. Kedua, islamisasi pengetahua­n. Yakni, mengungkap­kan khazanah budaya Islam yang khas di tiap-tiap daerah. Ketiga, demistifik­asi. Yakni, gerakan intelektua­l yang menghubung­kan antara teks dan konteks sosial, politik, serta historis.

Ketiga, menyadarka­n pentingnya penggunaan ruang publik. Ruang publik merupakan pintu masuk pertemuan berbagai arus informasi, pengetahua­n, dan diskursus publik. Tetapi, setiap warga negara harus menyadari bahwa ruang publik dibuat untuk menciptaka­n rasa aman.

Sederhanan­ya, di ruang publik orang boleh saja kritis terhadap keadaan negara. Tetapi, tidak demikian halnya dengan urusan keyakinan warga negaranya. Termasuk perbuatan tercela apabila ruang publik dihancurka­n atas nama gerakan radikalisa­si agama. Bukankah demikian? (*)

*) Sosiolog Pendidikan Kritis dan Kajian Budaya Unesa, kini, kandidat doktor KBM UGM

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia