Uang Haram di Klub Olahraga
SEJAK dulu, kita mudah untuk memaklumi jika sebuah klub olahraga dipimpin pejabat negara. Entah itu kepala daerah, anggota legislatif, atau perwira tinggi TNI/Polri. Pemakluman itu tentu saja terkait dengan kelangsungan hidup klub tersebut. Dengan dipimpin ”orang berpengaruh”, keuangan klub diharapkan bisa aman. Ah, begitu baik hati orang-orang itu.
Namun, peristiwa di Pengadilan Tipikor Serang 6 Juni lalu memberikan perspektif yang berbeda. Wali Kota Cilegon (nonaktif ) Tubagus Iman Aryadi dinyatakan terbukti menerima suap perizinan mal dengan memanfaatkan rekening klub sepak bola Cilegon United. Hakim memvonisnya dengan hukuman 6 tahun penjara plus denda Rp 250 juta.
Kasus suap yang diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu dengan begitu gamblang menunjukkan bahwa sebuah klub olahraga bisa menjadi jalan bagi aliran uang haram. Sang pejabat bukan lagi dermawan atau pahlawan yang menjamin kelangsungan hidup klub sepak bola. Tapi justru menjadikan klub sepak bola itu sebagai alat untuk pencucian uang haram. Bahkan alat untuk memeras.
Tubagus Iman Aryadi dipidana atas kasus suap perizinan pembangunan mal bersama dua orang lain. Yakni, mantan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Cilegon Akhmad Dita Prawira (5 tahun penjara) dan politikus Partai Golkar Cilegon Hendri (4 tahun penjara). Di persidangan, ketiganya dianggap berperan dalam pengaturan aliran uang suap perizinan pembangunan mal sebesar Rp 1,5 miliar melalui rekening klub Cilegon United.
Kasus suap itu –mungkin lebih tepat disebut pemerasan karena uang diberikan atas dasar permintaan para terpidana– terjadi pada September 2017. Dana sudah dicairkan dan sebagian digunakan untuk kebutuhan operasional pertandingan Cilegon United di Sleman.
Iman mengaku tidak menikmati sepeser pun dana dalam kasus itu. Namun, memanfaatkan rekening klub sepak bola untuk mencuci uang haram jelas sebuah kejahatan.
LSM Save Our Soccer pernah mengeluarkan statement bahwa ada sekitar 50 klub sepak bola profesional di Indonesia yang dipimpin pejabat negara. Mulai kepala daerah, anggota dewan, tentara, polisi, hingga pejabat BPK. Mereka khawatir kasus seperti di Cilegon juga terjadi di klub-klub sepak bola lain.
Karena itu, vonis kasus di Cilegon bisa menjadi momentum untuk membuka mata publik bahwa pemakluman terhadap pejabat negara yang memimpin klub olahraga harus diganti dengan pengawasan. (*)