Jawa Pos

Harga Pasar Menabrak Perda

Polemik Pemungutan BPHTB oleh Pemkot

-

SURABAYA – Pemkot diduga menabrak aturan perda dalam pemungutan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). Nilai transaksi jual beli diabaikan. Pemkot justru memakai harga pasar yang tidak diatur dalam peraturan daerah.

”Di perda enggak ada. Dispenda (nama lama badan pengelolaa­n keuangan dan pajak daerah, Red) kok berani ya?” ungkap anggota Komisi B DPRD Surabaya Achmad Zakaria. Dia membedah Perda Nomor 11 Tahun 2010 tentang BPHTB. Penggunaan harga pasar tidak diberlakuk­an pada BPHTB jual beli.

Dalam perda itu disebutkan bahwa besaran bea yang harus dibayar bergantung pada nilai perolehan objek pajak (NPOP). NPOP jual beli tanah dan bangunan ditetapkan atas harga transaksi. Definisi tentang harga transaksi itu ada dalam bagian penjelasan perda tersebut. Dijelaskan bahwa harga transaksi adalah harga yang terjadi dan telah disepakati pihak penjual dan pembeli.

Menurut dia, permasalah­an tersebut sebaiknya dibawa ke ranah hearing di komisi. Masalahnya, saat ini Ketua Komisi B DPRD Surabaya Mazlan Mansyur sedang umrah. Menjelang Lebaran, kegiatan di DPRD juga bakal ditiadakan. Artinya, rapat baru bisa dilaksanak­an setelah Lebaran.

Pembahasan­nya bakal dibarengka­n dengan pembahasan nilai jual objek pajak (NJOP) serta pajak bumi dan bangunan (PBB). Masalah itu juga ramai diperbinca­ngkan belakangan ini karena penentuann­ya dianggap merugikan warga.

Bedanya, warga dirugikan karena Perda Nomor 10 Tahun 2010 tentang PBB sudah tidak relevan. Persentase PBB naik dua kali lipat apabila NJOP warga sudah tembus Rp 1 miliar. Nilai Rp 1 miliar untuk bangunan atau tanah tahun 2010 sudah jelas berbeda jauh dengan harga saat ini. ”Untuk PBB, perdanya yang bermasalah. Sedangkan untuk BPHTB, perdanya tidak perlu direvisi karena pemkot yang diduga melanggar,” jelasnya.

PBB dan BPHTB menjadi pemasukan terbesar pemkot. Jika dijumlahka­n, dua pajak tersebut mencapai Rp 2,12 triliun. Nilai itu mendominas­i seluruh pajak daerah sebesar Rp 3,4 triliun (lihat grafis).

Mantan Kepala Inspektora­t Surabaya Agoes Winajat menganggap pemkot tidak hanya melanggar perda, tetapi juga asas kebebasan berkontrak. Dia pernah menjadi notaris dan mempermasa­lahkan hal itu. ”Saya bilang hargai asas kebebasan berkontrak berapa pun itu dijual,” kata dia.

Di Perda Nomor 11 Tahun 2010 dijelaskan, apabila nilai jual beli tidak diketahui atau di bawah NJOP, nilai yang ditetapkan untuk BPHTB adalah NJOP itu sendiri. Namun, pemkot justru memakai harga pasar. ”Kenapa pemkot tidak percaya pada NJOP yang mereka tentukan sendiri,” jelasnya.

Menurut dia, ketidakjel­asan penentuan nilai BPHTB membuka peluang bagi oknum petugas bermain. Dia menekankan bahwa dirinya tidak menuduh siapa pun dalam hal ini. Namun, kemungkina­n itu dirasa bisa terjadi.

Dia menganggap kebanyakan orang Indonesia tidak mau ribet. Selain itu, budaya berterima kasih masih kental. Hal tersebut membuat peluang kecurangan semakin lebar. Karena itu, dia mengharapk­an pemkot kembali pada perda.

Winajat juga memperjuan­gkan penentuan PBB miliknya. Dia mengharapk­an komisi B dan pemkot kembali bertemu untuk membahas masalah itu. Menurut dia, banyak warga yang resah gara-gara pemkot mengejar pendapatan.

 ?? RIZKY AGUNG/JAWA POS ??
RIZKY AGUNG/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia