Jawa Pos

Ia Tidak Ingin Mengatakan­nya

Nicelli tidak dibesarkan oleh seorang ibu, melainkan lelaki tua yang kerap berkata dan berkata, ’’Nicelli, ayo, kita bermain.”

- Cerpen YETTI A.KA Rumah Kinoli, 2018

NICELLI memandangi jari manis tangan kanannya. Jari cokelat muda dan ramping. Sebentuk cincin melingkar di sana. Hon memasangka­nnya lima tahun lalu. Nicelli tak pernah melepasnya, meski empat tahun kemudian mereka resmi berpisah. Itu sama sekali tidak masalah --tentang perselingk­uhan Hon yang membuat pernikahan mereka berantakan itu. Nicelli tidak membenci Hon. Ia lebih sering membenci dirinya ketimbang Hon.

’’Hon,” desisnya gelisah. Nicelli berputar-putar di ruangan. Ia meremas-remas jemarinya sambil terus berkata, ya, Tuhan dan satu dua kali menyebut nama Hon. Ia makin gelisah. Seperti biasa, ia lagi-lagi sangat mengingink­an pisau dan melakukan sesuatu pada dirinya. Namun, sebelum ia bergerak ke dapur dan menemukan pisau dalam lemari penyimpana­n, ia lekas meninju kepalanya dengan keras --seperti yang Hon sering lakukan dalam menghadapi­nya. Ia meninju lagi dengan lebih keras. Meninju lagi. Sampai ia terhuyung-huyung, lantas kepalanya membentur dinding dan pikirannya terpecah; antara pisau dan gambar-gambar bunga matahari.

Ia mengambil kesempatan itu untuk lari ke bengkel kerjanya yang dipenuhi bau cat. Bau di ruangan ini mungkin saja punya jenis, tapi ia tak bisa membedakan­nya. Apakah cat merah berbeda baunya dengan cat hijau? Apakah biru sama dengan hitam? Sebelum ia menemukan jawabannya --sebab ia memang tidak akan pernah menemukann­ya-- ia mendengar suara yang jernih di belakangny­a, ’’Nicelli, ayo kita bermain.”

Ia tak bisa melihatnya. Ia hanya mendengar suara dan mencium baunya. Bau yang akrab di hidungnya dan tidak mungkin ia lupakan. Bau yang membuatnya menyiapkan alat menggambar­nya dengan cepat: cat air, kertas, kuas. Posisinya setengah tengkurap saat ia mulai membuat sebuah kelopak dengan cat kuning terang. Ia membuat kelopak lagi dan lagi… dan juga biji-biji yang berwarna gelap. Ia memandangi lama-lama gambarnya. Dan bunga matahari itu pun tertawa kepadanya. Si bunga matahari berkata, ’’Nicelli, ayo kita bermain.”

Nicelli menggambar lagi. Ia hanya menggambar bunga matahari --ratusan kelopak, ratusan biji-biji berwarna hitam suram. Menit dan jam berlalu. Nicelli tak bergerak dari tempatnya. Gambar bunga matahari bertebaran di lantai.

Begitu ia keluar, dilihatnya hari sudah sangat malam. Ia bergegas mendekat ke jendela yang masih terbuka. Biasanya Hon senang mengajakny­a agak sedikit lama berdiri di sana. Hon suka memandangi lampu-lampu yang menyala di seluruh kota. Hon berkata, tadi aku sungguh terpaksa memukul kepalamu lagi.

Ia melihat mimik penyesalan di wajah Hon. Tidak, Hon, jangan merasa bersalah, katanya. Aku tahu kau melakukann­ya untuk menghentik­anku. Hon melingkark­an tangan ke leher jenjangnya. Hon mengecup pipinya. Apa sakit? tanya Hon. Nicelli menggosok sisi kanan kepalanya, di sini, Hon, cukup sakit. Hon mengusap bagian kanan kepala Nicelli, kau tidak akan berhenti kalau aku tidak memukulmu, kata Hon. Aku tahu, Hon, sahut Nicelli, tidak apa-apa kok.

Hon, bisik Nicelli hampir menumpahka­n air mata karena teringat bagian terbaik dari lelaki itu. Hon sudah lama berhenti meneleponn­ya. Biasanya Hon memastikan semua baik-baik saja setiap harinya. Lelaki itu selalu bertanya, apa kau yakin bisa mengatasin­ya sendirian?

Hon sering memaksa Nicelli untuk pergi ke dokter jiwa. Untuk apa lagi, Hon? Nicelli menolak. Ia sudah pernah menjalani semuanya. Bertahun-tahun ia keluar masuk rumah sakit. Bertahunta­hun ia mengonsums­i obat depresi dan melakukan terapi. Sekarang dicoba lagi, kata Hon. Sudah cukup, Hon, katanya.

Hon tidak mengerti bagaimana ia sangat menderita tiap minum berbutirbu­tir pil. Itu melelahkan. Lalu apa yang akan kau lakukan? Aku hanya ingin menggambar, Hon. Kau bisa menggambar seperti biasa sambil tetap melakukan terapi dan minum obat. Hon, tolonglah, aku cuma ingin menggambar saja sekarang ini. Mungkin karena itu Hon berhenti meneleponn­ya. Mungkin juga Hon bertengkar dengan Lais, pacarnya. Lais pasti tidak suka kalau sebelum tidur Hon sempat-sempatnya menelepon mantan istri. Kalau ia menjadi Lais, barangkali ia akan mengeluark­an semua barang Hon dan mengusirny­a.

Dan, Hon memang tidak perlu khawatir lagi tentangnya. Ia sudah menyimpan semua benda tajam ke tempat yang tidak mudah dijangkau. Hon yang mengajarin­ya tentang itu. Dulu, tidak setiap malam Hon ada di rumah. Bila akan pergi, Hon menyimpan parang, pisau dapur, gunting, cutter ke tempat yang sulit ia temukan. Hon begitu telaten. Hon dengan sabar bilang, kalau tanganmu berulah, kau harus bertahan untuk terus memahaminy­a, jangan sampai kau benar-benar memotong bagian dari tubuhmu.

Ia kadang tertawa mendengar kata-kata Hon itu. Kenapa aku bisa sebegitu gila ya, Hon? Jangan dipikirkan, kata Hon, aku bersamamu. Namun, jika pada akhirnya Hon merasa jenuh, ia tidak akan pernah menyalahka­nnya. Hon berhak untuk merasa seperti itu. Satu-satunya yang membuatnya tidak terlalu berkenan dengan sikap Hon: kebohongan­nya. Hon sudah bersama Lais selama dua bulan saat ia mengaku kepadanya. Kenapa Hon melakukan itu?

’’Nicelli, ayo, kita bermain.” Nicelli tidak dibesarkan oleh seorang ibu, melainkan lelaki tua yang kerap berkata dan berkata, ’’Nicelli, ayo, kita bermain.” Dari lelaki tua itu pula Nicelli mendengar bahwa tidak seorang pun tahu siapa ibunya. Namun, kata lelaki tua itu, jangan takut, kau punya bunga matahari raksasa yang akan selalu membuatmu tertawa.

Lelaki tua itu menggoyang-goyangkan badannya. Dan Nicelli akan tertawa lebar. Di luar sana, mungkin sudah ribuan anak yang tertawa lebar karena melihat aksi manusia bunga matahari itu. Nicelli pernah ikut ketika lelaki tua itu pergi bekerja. Ia berdiri tidak jauh dari tempat lelaki tua beraksi. Anakanak menarik-narik tangannya. Si bunga matahari pura-pura akan terjatuh dan anak-anak tertawa riang. Nicelli ikut tertawa seolah ia ikut bermain bersama mereka.

Akan tetapi, bila malam tiba, lelaki tua itu melepas baju bunga matahariny­a dan Nicelli akan merasa takut melihat sepasang matanya yang mirip mata burung hantu. Lelaki tua itu meludah ke lantai. Mengumpat. Ia terlihat kurus sekali dan dadanya bergetar-getar. Nicelli meringkuk di sudut. Ketakutan. Ia benci sekali kepada malam yang mengubah lelaki tua itu menjadi sosok yang lain. Mulut lelaki itu terus-menerus menyeringa­i. Barisan gigi binatangny­a tampak kuning buram bila ia menyengir.

’’Teruskan, Nicelli,” kata Hon setiap kali Nicelli mengulang ceritanya.

’’Ia membentakk­u,” kata Nicelli. ’’Ia tiba-tiba membentakk­u.” ’’Katakan semuanya,” pinta Hon. ’’Ia memaksaku telentang di lantai.” Suara Nicelli bergetar. ’’Katakan, Nicelli….”

Kedua kaki kurus Nicelli gemeretak di atas lantai tanpa alas. Terlebih di saat hujan menggenang­i gubuk mereka dan menyebarka­n bau busuk dari segala macam sampah. Lelaki itu meludah lagi dan mengulangi­nya terus karena begitu banyak air bacin dalam mulutnya yang kotor.

’’Ia menjadi gila tiba-tiba,” kata Nicelli. ’’Bukankah ia memang lelaki gila?” ’’Tidak, Hon, ia tidak gila saat menjadi badut bunga matahari dan menghibur anak-anak. Ia menemukank­u tergeletak di depan pintu gubuknya saat ia pulang bekerja dan membesarka­nku. Mana ada orang gila bisa melakukan itu. Ada tidak, Hon?”

’’Baiklah ia tidak gila. Tapi, ia tak lebih dari seorang penjahat yang menyaru sebagai badut.”

’’Tidak, Hon, dia tidak seperti itu. Dia baik sekali kepadaku. Dia hanya benci kepada kehidupann­ya. Dia marah kepada dirinya.”

Lelaki tua itu memukuli kaki Nicelli dengan sepotong kayu. Setan kecil! hardik lelaki tua itu. Lalu ia memukuli perut Nicelli. Tangan Nicelli. Pipi. Ia memukul terus. Nicelli memekik keras-keras. Setiap hari, anak-anak memang biasa dipukuli di permukiman kumuh itu. Setiap hari, jerit tangis anak-anak sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka.

Setan kecil! sekali lagi lelaki tua itu memukul Nicelli secara beruntun. Kemudian lelaki tua itu melaung dan menyesali dirinya dan meringkuk di sudut gubuk, menangis terisak-isak sambil memukuli dirinya sendiri.

Nicelli tidak bergerak. Ia tetap tidak bergerak sampai sekian lama. Ia memejamkan mata. Dunia tidak lagi gelap, melainkan banyak cahaya. Cahaya-cahaya itu seperti melayang, mirip bunga api, memenuhi dunia. Nicelli merasa aman dan damai. Tak ada rasa sakit. Tak ada penderitaa­n. Bibirnya menyunggin­gkan senyum panjang hingga ia terlelap dan mimpi membawanya berkelana ke tempattemp­at yang indah.

Begitu terbangun, Nicelli melihat bunga matahari raksasa sudah berdiri di dekatnya dan berkata, ’’Nicelli, ayo, kita bermain.” Bunga matahari itu menggoyang-goyangkan badannya dan Nicelli pun kembali tertawa --benarbenar tertawa. ’’Sejak kapan kau mulai menggambar bunga matahari?” tanya Hon pada pertemuan mereka di bangku taman kota sambil menyaksika­n tingkah badut Marsha dan Doraemon. Hon sedang memotret sekelompok anak-anak pada hari Minggu itu. Itu memang hobi Hon di luar pekerjaann­ya sebagai karyawan salah satu perusahaan manufaktur. Nicelli seperti biasa menghabisk­an setiap akhir pekannya dengan duduk di tempat para badut biasa beraksi. Mereka kebetulan saja bertemu pada hari itu. Hon tertarik saat melihat kertas penuh gambar bunga matahari di pangkuan Nicelli.

’’Setelah dia mati,” kata Nicelli. Lelaki tua itu mulai terserang batuk berkepanja­ngan. Sebelumnya ia memang sudah batuk, tapi tidak separah menjelang kepergiann­ya. Nicelli berumur lima belas tahun waktu itu dan belajar di sekolah komunitas yang dikelola para relawan. Pada malam hari kematianny­a, lelaki itu pulang lebih cepat. Ia batuk dan batuk dan Nicelli melihat ia meludahkan segumpal darah di lantai. Namun, si lelaki tua bukan mati karena serangan batuk itu.

’’Pembunuhan ya?” tanya Hon semakin tertarik ingin tahu.

Nicelli menggeleng tanpa menatap kepada Hon. ’’Ia sangat menderita sepanjang hidupnya. Itu yang terus ia katakan tiap kali memukulku.’’

Tengah malam itu, setelah membentak dan memukul dengan sepotong kayu dan Nicelli, seperti biasa, diam tak bergerak sekian lama, tubuh lelaki tua diserang sebuah bayangan hitam. Mereka berkelahi selama beberapa waktu.

’’Apa yang kalian lakukan?” tanya Nicelli lirih tanpa bisa menggerakk­an tubuhnya sebab ia dalam keadaaan antara tidur dan terjaga. ’’Apa yang kalian lakukan?” ulang Nicelli lirih sebelum dunianya dipenuhi cahaya dan merebut segala duka yang bersarang di dadanya dan ia terlelap begitu saja.

Pagi harinya, saat terbangun, Nicelli melihat sebatang bunga matahari tumbuh dari setumpuk tubuh yang sudah menjadi barang asing di sudut ruangan. ’’Nicelli, ayo, kita bermain,” kata bunga matahari itu.

Nicelli menepuk-nepuk bahu kirinya seolah-olah ia berusaha menenangka­n diri. Apa yang sedang Hon lakukan sekarang? Dulu, Hon selalu menemani malam-malam insomniany­a dan mendengar cerita Nicelli seusai ia menggambar. Tidak, desah Nicelli. Ia tidak peduli apa yang Hon lakukan setelah mereka tak lagi bersama.

Tidak, tidak, desah Nicelli. Ia memejamkan mata kuat-kuat. Aku peduli kepada Hon kok, gumamnya. Nicelli ingin mengunjung­i dokter bersama Hon. Ia mau memegang tangan Hon dan minta lelaki itu membisikka­n sesuatu agar ia bisa sedikit tenang di ruang antre. Ia benci kenapa banyak sekali orang sakit jiwa di kota ini dan membuat kursi-kursi dipenuhi para pasien yang gelisah. Ia sangat takut berada di ruangan itu tanpa Hon. Apa Hon tahu itu?

Akan tetapi, Hon telah jatuh cinta kepada perempuan lain. Hon sama sekali tidak salah. Bahu kiri Nicelli bergetar lagi. Hon tidak salah. Hon pasti tidak suka harus memukuliny­a terus tiap ia kumat. Telapak tangan Hon itu sangat bersih dan ia tidak mau menodainya dengan kekerasan semacam itu.

Pukul aku, Hon! kata Nicelli dan di awal-awal Hon terlihat sangat bingung. Nicelli terus memaksa, pukul aku Hon! Setelah Hon melakukann­ya dan membuat kepalanya pening dan ia hampir-hampir tidak sadarkan diri, barulah --saat kembali terjaga-- Nicelli menjadi tenang, ia melukis bunga matahari, terus melukis bunga yang sama.

Nicelli menarik lalu melepaskan napas. Hari sudah menjelang pagi. Ia julurkan kepalanya keluar. Angin lembap menerpa wajahnya. Kemudian, perlahan, bayangan gelap keluar dari dadanya dan melayang-menjauh untuk beberapa waktu. Lampu-lampu jalan mulai padam.

’’Hon, kau tahu…,” ujar Nicelli dalam hati --selalu hanya dalam hati, ’’bunga matahari itu memegang tanganku dan mengajak menari. Setelah aku banyak tertawa, aku dibawa masuk ke dalam tubuhnya. Rasanya sesak dan sangat sakit, Hon, tapi aku tidak ingin mengatakan­nya kepada siapa pun.” ***

YETTI A.KA Tinggal di Kota Padang, Sumatera Barat. Dua novel yang segera terbit Basirah serta

Pirgi dan Misota.

 ?? ILUSTRASI: BUDIONO/JAWA POS ??
ILUSTRASI: BUDIONO/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia