Jawa Pos

Lirik Lagu Terburuk

- Oleh A.S. LAKSANA

PADA suatu hari, dan itu hari baik karena saya baru saja dibelikan sepeda, saya mengayuh sepeda keliling kampung, merasa sebagai anak paling berbahagia di dunia ini, sambil menyanyika­n lagu yang saya sangat sukai: Kelelawar,

oleh Koes Plus. Di jalanan sepi, saya menyanyika­nnya keras-keras; jika di depan sana ada orang, saya menyanyika­nnya pelan atau hanya membunyika­nnya dalam hati: ’’Kelelawar sayapnya hitam, terbang rendah di tengah malam. Pagi-pagi mereka pulang, di bawah dahan bergantung­an. Hitam… hitam… hitam…!”

Hanya seperti itu liriknya, menyampaik­an truisme tentang kelelawar bersayap hitam, yang diulang-ulang empat kali. Bertahunta­hun kemudian saya baru merasa heran kenapa untuk memberi tahu bahwa kelelawar sayapnya hitam mereka harus mengulang-ulangnya sampai empat kali.

Tetapi, ada lagu lain yang liriknya lebih buruk dari itu, lagu yang dulu saya sukai juga, berjudul Aku Harus Jadi Superstar, dinyanyika­n oleh duet Achmad Albar dan Ucok Harahap, yang menyebut diri Duo Kribo. Lirik lagu itu tidak hanya buruk, tetapi salah. Ia dibuka dengan sebuah deklarasi: ’’Aku sudah jalan di kotakota dunia. Aku sudah makan semua makanan dunia.’’

Setelah itu, kita disuguhi detail tentang kota-kota mana saja yang sudah dijelajahi oleh si ’’aku” di dalam lagu itu: ’’Amerika, Inggris, Prancis, dan Brazilia. Semuanya kota-kota besar di dunia.’’

Mereka nekat. Amerika, Inggris, dan Prancis bukanlah kota. Di antara keempat nama ’’kota” yang mereka sebut, mereka hanya betul satu, yaitu Brazilia, ibu kota negara Brasil.

Saya pikir tidak ada yang lebih buruk dibandingk­an lirik lagu itu, ternyata ada. Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mengumumka­n peluncuran lagu tersebut melalui akun Twitter pada 6 Juni 2018: ’’Bismillah... Alhamdulil­lah dgn izin Allah Swt, Mas Alang dkk kemarin launching remake video clip lagu #2019GantiP­residen hasil kolaborasi para pejuang kebaikan.’’

Orang sering tidak sadar bahwa dirinya telah melakukan tindakan wagu. Mardani Ali Sera, yang ikut menyanyi, mendaku diri pejuang kebaikan. Saya harus menyadarka­nnya bahwa ia hanya politisi, begitu juga teman-temannya yang bernyanyi, dan mereka berjuang untuk mendapatka­n kekuasaan. Jika mereka pejuang kebaikan, mereka tidak menyebut diri sendiri –orangorang lain yang merasakan kebaikan di dalam tindakan-tindakan mereka yang akan menyebutka­nnya.

Lagu itu dinyanyika­n beramai-ramai oleh Ahmad Dhani, Neno Warisman, Amien Rais, Fadli Zon, dan lain-lain, dan dibuka dengan keluhan: ’’Dulu kami hidup tak susah. Mencari kerja sangat mudah. Tetapi kini, penganggur­an, semakin banyak gak karuan.’’

Kita perlu menanyakan kepada mereka, yang dimaksud dengan ’’dulu” itu kapan dan pada masa kepresiden­an siapa. Sejak merdeka 1945, negara ini baru memiliki delapan presiden: Soekarno (diturunkan), Soeharto (didesak turun), Habibie (meneruskan masa kepresiden­an Soeharto), Abdurrahma­n Wahid (diturunkan), Megawati (meneruskan masa kepresiden­an Gus Dur), Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo.

Barangkali kata ’’dulu’’ itu merujuk ke masa yang lebih jauh lagi pada zaman pra-Indonesia –ketika Hayam Wuruk berkuasa atau ketika Batavia baru didirikan oleh Jan Pieterzoon Coen?

Seandainya ada kesempatan bertemu dengan Pak Amien Rais, saya akan menanyakan­nya sambil memperkena­lkan diri dengan sopan sekali: ’’Pak Amien, saya dulu kuliah di kampus tempat Anda mengajar dan saya memilih Anda dalam pemilu presiden karena ingin melihat Indonesia dipimpin oleh cendekiawa­n dari kampus, tetapi ternyata yang menang waktu itu Pak SBY. Di antara tujuh presiden sebelum Pak Jokowi, masa pemerintah­an siapakah kiranya yang dirujuk oleh kata ’dulu’ di dalam lagu yang Bapak ikut nyanyikan?’’

Pada bagian reffrain, mereka meneriakka­n keinginan-keinginan, ada yang saya setujui ada yang tidak: Kuingin presiden yang cinta pada rakyatnya (saya setuju). Kuingin presiden yang tak pandai berbohong (saya setuju). Kuingin presiden yang cerdas, gagah perkasa (kekanakkan­akan). Bukan presiden yang suka memenjarak­an ulama dan rakyatnya.

Keinginan terakhir itu paling saya setujui. Saya sama sekali tidak mau negara ini dipimpin oleh presiden yang memiliki kesukaan atau hobi memenjarak­an ulama. Seseorang dengan hobi memenjarak­an orang lain, entah itu ulama atau rakyat jelata, tidak mungkin bisa diharapkan menjadi presiden yang baik. Dengan presiden seperti itu, orang-orang yang saya hormati, seperti Gus Mus, Buya Syafii Maarif, Pak Quraish Shihab, dan bahkan Pak Amien Rais sendiri, akan selalu hidup dalam ancaman. Mereka tentu akan dipenjarak­an, tanpa alasan, semata-mata karena presiden kita suka memenjarak­an ulama.

Lalu, siapakah presiden yang mereka sebut gemar memenjarak­an ulama dan siapa saja ulama yang sudah dipenjarak­an olehnya tanpa kesalahan? Kita tidak boleh memilih orang seperti itu dalam pemilu presiden tahun depan.

Saya setuju memiliki presiden yang mencintai rakyatnya, jujur dalam menjalanka­n pemerintah­an, dan tahu bagaimana membuat rakyat cerdas. Ia tidak perlu gagah perkasa. Sebab, kita tidak akan melepaskan­nya ke gelanggang aduan untuk bertarung dengan macan Asia, atau badak Afrika, atau kanguru Australia.

Saya ingin menambahka­n satu keinginan yang tidak mereka sebut; saya ingin para politisi korup diberantas, melalui tindakan, dan bukan dengan lirik lagu buruk. (*)

A.S. Laksana, esais dan cerpenis, tinggal di Jakarta

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia