Jawa Pos

Bumi Manusia, Film, dan Kebebasan Tafsir

- Oleh ARI KRISTIANAW­ATI

WARGANET heboh merespons launching produksi film yang diadopsi dari novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Kehebohan dipicu oleh ploting pemeran tokoh sentral Minke yang dimainkan Iqbaal Ramadhan dan penunjukan Hanung Bramantyo sebagai sutradara. Banyak pro dan kontra terhadap ’’rencana’’ produksi film yang berjudul sama dengan novelnya yang digagas PT Falcon Pictures tersebut.

Kelompok yang sinis, pesimistis, dan yang menolak produksi itu memiliki banyak argumen. Mulai argumen yang seolah ’’ideologis’’ bahwa konten novel Bumi Manusia tidak mungkin bisa diadaptasi dalam film yang berdurasi paling lama 150 menit karena banyak alur pengisahan yang menonjolka­n pesan politik pergerakan. Argumen yang lain: film Bumi Manusia (yang sedang diproduksi) tidak akan sekualitas novelnya yang telah diterjemah­kan ke dalam 40 bahasa itu.

Pemeran Minke, Iqbaal Ramadhan, diperkirak­an hanya mampu berperan ala kadarnya, tidak mampu menjiwai karakter Minke yang tak lain adalah ’’personifik­asi’’ tokoh RM Tirtoadiso­eryo, pendiri SI (Syarikat Islam) dan koran Medan Prijaji. Hanung Bramantyo juga dianggap akan membawa kegagalan isi moral-politis Bumi Manusia dan lebih terjeremba­p ke dalam unsur roman picisan.

Sedangkan kelompok yang mendukung film ini cukup antusias mengikuti kegiatan produksi dan menunggu penayangan film

Bumi Manusia nanti, memiliki harapan film Bumi Manusia mampu menjadi media pendidikan sejarah pergerakan bagi generasi milenial. Film Bumi Manusia diharapkan menjadi titik pijak untuk produksi filmfilm bermutu yang mengadapta­si dari karya-karya sastra bermutu pula. Film Bumi Manusia digadang-gadang menjadi film yang mampu mendekatka­n masyarakat, khususnya generasi muda, pada energi kreatif karya sastra seperti yang ditunjukka­n sastrawan Pramoedya Ananta Toer.

Terlepas dari pro-kontra produksi film ini, kita berharap proses produksi dan penayangan­nya nanti tidak membuahkan kontrovers­i. Kontrovers­i secara ’’politis’’ mengingat naskah film itu diadaptasi dari novel karya sastrawan yang oleh rezim Orde Baru dulu dicap berafilias­i ke ideologi komunis dan karena itu novelnya ’’haram’’ beredar dan dibaca masyarakat. Kita juga berharap tidak ada lagi upaya untuk menghalang­halangi pemutaran film tersebut sebagaiman­a yang dialami film

Schindler List di era ’90-an.

Film Bumi Manusia semoga juga tidak bernasib antiklimak­s. Yakni bergaung saat fase proses produksi, namun tidak laku di pasaran dan bahkan menimbulka­n kekecewaan bagi para penggemar karya-karya Pram.

Menelaah akan diproduksi­nya film Bumi Manusia, ada beberapa hal yang perlu kita pahami. Pertama, tidak semua novel atau karya sastra bermutu tinggi akan sukses difilmkan dengan standar mutu yang tinggi pula. Standar mutu tinggi film yang diadaptasi dari karya sastra yang bagus belum tentu menarik simpati, antusiasme menonton, dan apresiasi dari penggemar film.

Kedua, ukuran kesuksesan sebuah film dalam optik ’’komodifika­tif’’ adalah rating jumlah penonton (box office). Berapa juta orang yang menonton (di bioskop) dan kesan mendalam apa yang dibawa pulang penonton? Percuma saja sebuah film unggul dalam kaidah estetik dan sinematogr­afi, namun tidak laku di pasar.

Ketiga, sukses dilihat dari kacamata kalangan sineas. Film apa pun sangat diimpikan menjadi box office di pasar sekaligus mendapatka­n apresiasi yang positif dari para kritikus film. Kalau dua hal ini didapat, nanti berdampak pada panggung-panggung festival, baik di kancah nasional maupun internasio­nal.

Hanung Bramantyo selama ini memang dikenal sebagai sutradara yang ’’idealis’’. Dia dinilai cukup sukses lewat film-film besutannya seperti ’’?’’, Perempuan Berkalung Sorban, Soekarno, dan Sang Pencerah. Namun, bagi kalangan pembaca novel Bumi Manusia, kapasitas Hanung masih diragukan bisa mentransfo­rmasikan gagasan besar dan narasi pergerakan kebangsaan lewat tokoh Minke dalam filmnya nanti. Hanung perlu mendengark­an kritik dan masukan dari pihak-pihak yang ingin film Bumi Manusia sebagus novelnya.

Film Bumi Manusia memang berada dalam titik persimpang­an tafsir. Tafsir pembaca novel dan calon penikmat film nanti. Tafsir yang tidak bisa dipaksakan secara tunggal. Tafsir umum cerita dan pembabakan lakon novel Bumi Manusia kental dengan spirit ideologi pergerakan di era 1920an. Era pergerakan yang menyajikan tumbuhnya pahampaham politik nasionalis­me, sosialisme, antifeodal­isme, dan bahkan marxisme.

Yang penting, tidak boleh ada penafsiran film Bumi Manusia yang dipaksakan. Film Bumi Manusia harus begini dan harus begitu, kudu sejalan dengan narasi novel yang menyuguhka­n semangat antikoloni­alisme dan sebagainya. Biarkan Hanung dan tim berkreasi menafsirka­n isi novel Bumi Manusia dalam konteks dan selera kekinian. (*)

Ari Kristianaw­ati, guru SMAN 1 Sragen, Jawa Tengah

 ?? DOK PT FALCON PICTURES ?? IDEALIS: Sutradara Hanung Bramantyo memberikan pengarahan dalam proses syuting film Bumi Manusia di Jogjakarta belum lama ini.
DOK PT FALCON PICTURES IDEALIS: Sutradara Hanung Bramantyo memberikan pengarahan dalam proses syuting film Bumi Manusia di Jogjakarta belum lama ini.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia