Tentang Kaum Muda yang Menghadirkan Terobosan
Karya Taufik Abdullah yang diangkat dari disertasi di Cornell ini mengulas dinamika gerakan Islam modernis di Sumatera Barat pada 1927–1933. Merefleksikan perubahan yang terjadi secara umum di berbagai tempat lain di Indonesia.
DI dunia intelektual publik Indonesia, mungkin tidak ada yang tidak kenal dengan nama Taufik Abdullah. Kepala LIPI tahun 2000–2002 itu sejarawan produktif. Ia menulis banyak sekali buku dan artikel.
Karyanya dikutip ilmuwan Indonesia dan asing. Taufik oleh ahli Asia Tenggara ternama Denys Lombard pernah dinobatkan sebagai salah seorang ilmuwan terkemuka tentang Indonesia. Khairudin Aljunied, guru besar madya di National University of Singapore, melabeli Taufik sebagai ”cendekiawan-aktivis masyhur”.
Di antara semua karya Taufik tentang sejarah Indonesia, ada satu karyanya yang amat berpengaruh dalam beberapa dekade terakhir. Yakni disertasinya di Universitas Cornell tahun 1971 tentang pergerakan Kaum Muda di Sumatera Barat pada masa kolonial, yang kini untuk kali pertama diterbitkan secara resmi dalam bahasa Indonesia.
Mengapa karya ini penting dan bahkan masih relevan hingga sekarang, baik secara akademis maupun kemasyarakatan? Buku Taufik ini mengulas dinamika gerakan Islam modernis di Sumatera Barat tahun 1927–1933. Waktu itu ada tiga aktor utama yang berkompetisi di sana. Mereka adalah Kaum Adat dengan tradisinya, Kaum Agama dengan Islamnya, dan pemerintah Hindia Belanda dengan kolonialismenya. Adat lama tengah tergerus, sementara modernisasi mulai melanda. Itu sebenarnya terjadi juga di bagian Indonesia lainnya.
Dari sini lahirlah para ulama progresif yang dikenal sebagai Kaum Muda. Mereka mengampanyekan Islam yang murni tapi rasional. Taklid, dogmatisme, dan bidah dijauhi. Fatalisme ditinggalkan, diganti dengan dorongan ke arah kemajuan pribadi dan masyarakat. Elemenelemen modernitas diadopsi. Inspirasinya datang dari mana-mana: revivalisme Islam ala Mesir, reformasi birokrasi ala Turki Muda, gerakan sosial ala Muhammadiyah di Jawa, bahkan juga edukasi ala Belanda.
Muncullah terobosan baru dalam pengajaran dan pengamalan Islam. Hasilnya, Minangkabau kala itu kaya dengan wacana dan gerakan sosial/ politik. Daerah itu pun dikenal sebagai produsen inteligensia muslim Indonesia yang kuat dasar agamanya, luas wawasannya, dan memikat retorikanya.
Ada beberapa gagasan utama Kaum Muda. Pertama, percaya pada pendidikan Islam modernis sebagai jalur ke arah kemajuan. Mereka memodernisasi sekolah agama. Islam mesti sejalan dengan ilmu modern.
Hafalan diganti penalaran dan pemahaman. Ilmu ”sekuler” diajarkan, mulai geografi, botani, bahkan bahasa Inggris dan bahasa Belanda. Anak gadis dibuatkan sekolah khusus. Kini semua itu mungkin terlihat biasa, tapi seabad silam merupakan terobosan berani.
Kedua, mengadopsi teknologi komunikasi mutakhir. Sebelumnya pengajaran agama hanya berlangsung di surau. Namun, Kaum Muda memperkenalkan surat kabar, majalah, buklet, dan buku –yang identik dengan alat komunikasi Barat– sebagai saluran mendiseminasikan ide mereka sekaligus sebagai media adu argumen.
Ketiga, mereka sangat peduli dengan berbagai problem masyarakat. Mereka tidak beragama untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk membebaskan masyarakat dari kebodohan, kemiskinan, dan penyakit.
Perasaan solidaritas sosial dan anti penindasan dipupuk terus-menerus. Wujudnya adalah hadirnya berbagai organisasi sosial & politik, sekolah, dan klinik kesehatan untuk rakyat yang didirikan Kaum Muda.
Buku Taufik ini sesungguhnya merefleksikan perubahan yang terjadi secara umum di berbagai tempat lain di Indonesia. Di mana umat Islam tengah mencari solusi atas ketegangan yang terjadi dengan elemen lokal yang lama dan ide-ide baru dari luar.
Bila di periode sebelumnya penyaluran atas ketegangan itu muncul dalam bentuk konflik fisik, di Minangkabau 1920-an kanalisasi utamanya adalah diskursus publik, aktivisme sosial, dan partisipasi politik. Ini sejalan dengan apa yang dikatakan seorang ulama Kaum Muda kala itu: ”Islam bukan hanya agama untuk kehidupan di akhirat, tapi lebih merupakan petunjuk hidup di dunia ini.” (*)