Jawa Pos

Amen

- Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.com

ADA lagu tentang 2019 tak ganti presiden. Ada lagu tentang 2019 ganti presiden. Dua-duanya punya peminat di YouTube. Walau begitu Sastro dan Jendro, dua pengamen laki-perempuan Kota Surabaya, ndak terpengaru­h.

Sastro-Jendro bukan orang partai, tapi mereka punya ideologi. Ideologi mereka: Manusia pas makan pengin santai, ndak pengin dengar apa pun tentang politik. Tentang Asian Games yang kurang bergaung dibanding politik masih okelah. Yang jelas, mereka cuma

pengin dengar lagu-lagu cinta, perjalanan, kangen-kangenan...

’’Ah, itu mah bukan ideologi. Itu namanya selera,” celetuk sejawat mereka sesama pengamen, istilah bentukan dari ’’pe” dan ’’amen”, lulusan S-1 jurusan teknik nuklir.

Jendrowati manyun dan semakin menggemask­an.

’’Sudahlah, situ nggak usah nyinyir,” ketusnya. ’’Kerja aja di teknik nuklir bidangmu. Di sini

nggak ada lowonganny­a, kan? Ya sono jadi TKI nuklir di Korea Utara. Lumayan kalau diajak Kim Jong-un ke Singapura. Damaidamai­an ma Trump.”

Suatu malam ketika Sastro dan Jendro diusir-usir selagi ngamen di Benowo dan di Tambaksari, keduanya berjumpa di titik temu Tugu Pahlawan. Keduanya berkolabor­asi mengamen ke seseorang yang mirip Yudi Latief, tokoh yang baru memunduri jabatan kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.

’’Yudi Latief” langsung ngasih duit. Padahal lagu baru baris pertama. Daripada nganggur, Sastro menjelaska­n komentar sejawat pengamen lulusan teknik nuklirnya tentang ideologi.

’’Aktifdipar­taipolitik­agarbanyak proyek, agar keluargany­a kaya, agar tak ada satu pun anggota keluargany­a yang kepepet jadi pengamen, itu namanya politikkep­entingan,” tandas Sastro sambil gantian ngemut es krim satu berdua sama Jendro.

’’Terus?” Jendro merajuk. Masih tersisa sengal-sengal napasnya seolah habis berlari dalam Asian Games,gegaradibu­rupetugasp­engusiran pengamen. Sekali dua-kali sambil ia ’ jreng”-kan ukulelenya.

’’Nah, terus, aktif di partai politik agar kelak bisa menggodok undang-undang bagi keadilan dan kemakmuran sehingga otomatis tak ada pengamen, itu namanya politik-ideologi,” Sastro sembari memetik gitarnya menimpal ’’jreng-jreng”-an ukulele Jendro. Udara romantis.

’’Berarti kalau ada prinsip ’apa pun makanannya, minumnya tetap... eh, siapa pun capresnya akulah cawapresny­a,’ itu politikkep­entingan? Kan logikanya kalau sudahseide­logimacapr­esA,berarti beda ideologi ma capres B?”

’’Pinter... Hmmm... Koalisi partai juga begitu, Jendro. Kalau politiknya politik-ideologi, bukan politik-kepentinga­n, koalisi partai akan sama dari pusat sampai di berbagai daerah.”

’’Maksudmu, Sastro, kalau di pusat partai munyuk berkoalisi dengan partai bedes, dan partai kampret berkoalisi dengan partai koala, maka koalisi pilkada di daerah-daerah juga seperti itu?” ’’Pinter. Kamu pantas menjadi

pengamenwa­ti yang dapat receh ke-13 dan THR, Tunjangan Hiburan Receh... Karena bukan politik-ideologi, tapi politikkep­entingan, maka partai kadal yang di suatu daerah berkoalisi dengan partai gendruwo, di daerah lain bisa berkoalisi dengan partai wewe gombel.”

’’Itu akan mengubah hakikat demokrasi?”

’’Tidak mengubah. Hakikatnya tetap, yaitu tetap kadal.”

Mereka lalu berdoa agar politik berubah. Namun mereka tak ingin GeEr jika doa mereka cepat terkabul. Ibaratnya, pengamen yang cepat-cepat dikasih duit biasanya yang nyanyinya nggak enak. Agar segera menyingkir. Itu perumpamaa­n tentang doa yang cepat terkabul versi KH Imron Djamil dari Pesantren Kyai Mojo Jombang.

’’Kalau Tuan yang diameni sayangkita,beliauakan­menunggu sampai kita selesai nyanyi utuh baru ngasih duit. Kalau perlu duitnya ditahan-tahan dulu, imbuh lagu lagi... imbuh terus...,” kenang Sastro ke Jendro.

 ?? BUDIONO/JAWA POS ??
BUDIONO/JAWA POS
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia