Jawa Pos

Dewan Berguru Tarif PBB ke Jogjakarta

-

SURABAYA – Setelah mendapat banyak keluhan dari warga, komisi B akhirnya sepakat mengusulka­n perubahan Perda Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pemkot Jogjakarta dijadikan kiblat untuk menyusun rancangan revisi perda itu. Padahal, tujuh tahun lalu Pemkot Jogjakarta justru belajar ke Surabaya.

Saat kewenangan PBB dialihkan dari pemerintah pusat ke daerah, Surabaya menjadi daerah pertama yang menyusun Perda PBB pada 2010. Berbagai daerah datang ke Surabaya untuk berguru tentang aturan dan pelaksanaa­n penarikan PBB. Termasuk para anggota DPRD Kota Jogjakarta. Aturan mengenai PBB Kota Jogjakarta terbit setahun setelah Surabaya menyelesai­kan Perda PBB.

Wakil Ketua Komisi B DPRD Surabaya Edi Rachmad menerangka­n, Jogjakarta menjadi salah satu pemkot yang berhasil mengelola PBB tanpa banyak keluhan warga. Karena itu, komisi B mengadakan studi banding ke sana. ”Beda sekali. Di sana ketentuan tarifnya dibagi lima. Surabaya cuma dua,” jelas politikus Hanura itu.

Tarif PBB di Surabaya dibedakan menjadi dua. Apabila nilai jual objek pajak (NJOP) di bawah Rp 1 miliar, tarif PBB-nya 0,1 persen. Jika sudah melebihi itu, tarif PBB meningkat dua kali lipat menjadi 0,2 persen.

Gara-gara ketentuan tersebut, banyak PBB warga yang naik hingga tiga kali lipat. Yang awalnya hanya Rp 800 ribu bisa melonjak sampai nyaris Rp 3 juta. Hal itu terjadi karena patokan Rp 1 miliar yang dibuat pada 2010 sudah tidak relevan lagi sekarang.

Edi menerangka­n, kenaikan NJOP yang ditetapkan pemkot setiap awal tahun memiliki dua akibat. Pertama, warga diuntungka­n karena nilai jual rumah dan bangunanny­a naik. Jika dijual, tentu harganya melonjak tinggi. Kedua, warga yang tidak berniat pindah rumah bakal dibebani pajak yang tinggi. ”Seolah-olah mereka terusir dengan sendirinya,” lanjutnya.

Namun, Edi melihat yang salah selama ini adalah perdanya. Karena itu, aturan persentase perlu diubah agar lonjakan biaya PBB tidak terlalu mencolok. ”Bisa mengadopsi perda Jogjakarta,” jelasnya (lihat grafis).

Karena ada lima kelas tarif, kenaikan tidak akan begitu tinggi. Namun, ada tarif 0,3 persen bagi persil yang nilainya di atas Rp 3 miliar. Dengan begitu, pendapatan yang diterima pemerintah daerah tetap teratasi. Sistem subsidi silang dia rasa lebih adil.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia