Indonesia dan Ketertiban Dunia
HARIHARI ini dunia internasional tengah mengalami fase krisis kepercayaan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mendapat mandat untuk mencegah terjadinya konflik kekerasan justru tidak mampu berbuat apa-apa untuk menghentikan pelanggaran-pelanggaran hukum internasional.
Negara-negara besar yang selama ini dianggap sebagai penopang tegaknya hukum internasional justru kerap menggunakan keistimewaan yang mereka miliki untuk mengeblok sanksi terhadap negara-negara pelanggar. Dengan berbekal hak veto yang melekat, negara-negara anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB yang berjumlah lima negara menganulir kesepakatan mayoritas.
Selanjutnya, PBB dengan sayapsayap kemanusiaannya seperti UNHCR yang bergerak di bidang pengungsi dan UNESCO yang bergerak di bidang kebudayaan mengalami defisit anggaran lantaran negara-negara besar yang selama ini menjadi donatur terbesar menarik diri dari kesepakatan.
Ian Bremmer, kolumnis majalah Time, dalam bukunya menyebut fenomena tersebut sebagai G-Zero, yakni negara-negara Barat mengalami penurunan pengaruh di pentas politik internasional karena pemimpin mereka berfokus untuk urusan domestik.
Perumpaan paling kuat untuk menjelaskan situasi itu adalah isu konflik Israel-Palestina. AS selaku penggagas berdirinya PBB yang diharapkan bisa menjadi mediator justru menunjukkan sikap yang terlalu berpihak kepada Israel dengan mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel, sedangkan pada saat yang sama Palestina yang juga memiliki hak atas Jerusalem dibiarkan terkatung-katung. PBB lewat resolusinya secara jelas telah menyatakan bahwa Jerusalem adalah tanah sengketa.
Fenomena serupa bisa dilihat dalam kasus Syria. Syria yang merupakan salah satu negara yang kena imbas Arab Spring menjelma menjadi negara gagal. Perang sipil antara kubu Bashar Al Assad dan oposisi merenggut ribuan nyawa dan menciptakan tidak kurang dari 5 juta pengungsi yang tersebar di Turki, Jordan, Lebanon, serta negara Eropa.
Kendati terdapat banyak pelanggaran hukum internasional di Syria, lagi-lagi PBB gagal melakukan intervensi kemanusiaan karena Rusia selaku pemegang hak veto menganulir setiap resolusi yang hendak menjatuhkan sanksi untuk rezim Assad.
Dari situasi tersebut, masyarakat internasional tidak terlalu berharap banyak kepada PBB sebagai pencipta perdamaian berkelanjutan dan penentu arah ketertiban dunia.
Indonesia di PBB Keberhasilan Indonesia menduduki kursi anggota DK PBB bersama Jerman, Belgia, Afrika Selatan, dan Dominika tentu saja patut diapresiasi. Sebab, pencapaian tersebut tidak lepas dari lobi Presiden Joko Widodo, Menlu Retno Marsudi, dan para diplomat Indonesia di luar negeri yang mampu meyakinkan pemimpin negara tempat mereka bertugas untuk memberikan dukungan bagi pencalonan Indonesia.
DK PBB merupakan satu-satunya lembaga terkuat di tubuh PBB. Sebab, lembaga itu memiliki keputusan mengikat dan setiap keputusan yang mereka keluarkan sangat efektif dalam upaya mengawal sebuah isu internasional. DK PBB memiliki wewenang untuk memberikan sanksi hingga pengerahan pasukan perdamaian.
Indonesia menyebut tiga poin penting yang menjadi agenda utama. Yakni, penciptaan ekosistem perdamain global dan stabilitas global; terlibat aktif dalam upaya perang melawan terorisme, ekstremisme, dan radikalisme; serta menopang pembangunan berkelanjutan.
Jangkar Perdamaian Setelah terpilih, Indonesia tentu saja tidak boleh berpuas diri. Sebab, segera setelah efektif bekerja pada Januari 2019, terdapat begitu banyak persoalan dunia yang belum mampu diselesaikan rezim internasional karena munculnya gejala distrust yang menghinggapi negaranegara besar.
Indonesia perlu menjadikan gerbong DK PBB untuk unjuk pengaruh di pentas global. Hal itu bisa dimulai dari level mikro. Yaitu, memastikan kawasan Asia-Pasifik menjadi salah satu jangkar stabilitas global. Ketegagan yang melibatkan Tiongkok dengan negara-negara ASEAN sebisa-bisanya diselesaikan dengan pendekatan diplomatik ketimbang pendekatan militer.
Perdamaian antara Korut dan Korsel perlu dikawal untuk memastikan bahwa para pemimpin negara memberikan ruang yang lebih besar bagi negosiasi daripada ultimatum berupa ancaman perang nuklir. Tak lupa, krisis kemanusiaan di Myanmar yang menimbulkan migrasi besar-besaran etnis Rohingya ke negara-negara tetangga patut menjadi agenda prioritas.
Di level makro, Indonesia perlu menyuarakan sikap tentang tatanan global yang saat ini mengalami ketidakseimbangan karena kebijakan ambivalen negara-negara besar dalam menggunakan hak veto. Hak veto yang melekat pada lima negara anggota secara tidak langsung memiliki kontribusi bagi rendahnya kepercayaan masyarakat internasional terhadap kredibilitas PBB. Indonesia juga perlu menyuarakan reformasi di tubuh PBB.
Pada akhirnya, politik luar negeri yang baik adalah politik yang mampu mendatangkan manfaat sebesarbesarnya bagi kepentingan nasional dan pada saat yang sama mampu mentransformasikan nilai-nilai luhur sebuah bangsa bagi terciptanya tatanan dunia yang adil dan beradab. *) Doktor hubungan internasional Marmara University, Turki; dosen hubungan internasional FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta