Oposisi yang Tak Kunjung Solid
DI tengah kesibukan rakyat mudik, rupanya dunia politik enggan istirahat. Bahkan, mudik pun dimaknai dengan sudut pandang politik pro dan kontra. Selain itu, belum berhenti juga jurus elite untuk mengajukan diri dalam kontestasi Pilpres 2019.
Amien Rais, 74, yang pernah nyapres tahun 2004 (di urutan ketiga dari lima pasangan), kembali menyampaikan niatnya untuk menjadi kandidat. ”Mahathir effect” rupanya ingin dimanfaatkan –meski yang relevan di sini baru terlihat hanya dari sisi usia.
Karena perkembangan itu, peta ”oposisi” pun dihitung ulang. Amien yang dikenal punya karakter khas bisa membuat peta Pilpres 2019 berubah. Selama ini ada anggapan bahwa Pilpres 2019 kembali ke kontestasi El Clasico Joko Widodo (Jokowi) vs Prabowo Subianto. Ternyata belum tentu begitu.
Sementara jarum politik terus berdetak. Pendaftaran capres akan dilakukan 4–10 Agustus 2018. Kurang dari dua bulan lagi. Mepet. Kalau kubu Jokowi masih tarik-ulur menentukan cawapres, kubu ”oposisi” malah belum jelas petanya.
Hanya Prabowo yang sudah dideklarasikan Partai Gerindra. Lainnya, seperti Anies Baswedan, Gatot Nurmantyo, Tuan Guru Bajang, Habib Rizieq Shihab, Agus Harimurti Yudhoyono, dan juga Amien Rais, masih penjajakan yang belum juga sampai dasar. Kalau figur capresnya saja belum terlihat, apalagi cawapresnya.
Tentu saja kondisi ”oposisi” seperti itu menguntungkan pihak Jokowi. Tak perlu repot-repot membuat manuver, para pengingin #2019GantiPresiden sudah terpecah-pecah.
Ternyata adanya ”lawan bersama” tak membuat mereka bersatu. Bahkan, kampanye kritis dan sengit atas kinerja dan janji-janji Jokowi yang bernada sama tak membuat mereka membuhulkan kesepakatan.
Para elite yang merasa pantas jadi presiden itu tentu merasa bisa mengatur strategi lebih canggih daripada awam. Namun, perlu diingatkan, logika sewajarnya kerap lebih masuk akal daripada ego besar. Sebab, yang akan menentukan dalam coblosan pilpres nanti adalah ”perasaan” orang banyak.
Rasanya sudah tuntas aneka kritik atas kinerja pemerintahan Jokowi-JK. Entah berbasis fakta maupun retorika. Yang belum terlihat adalah bagaimana persepsi yang dibentuk dari hasil kritik itu diformulasikan ke figur pasangan kandidat yang solid. Mereka ”lupa” menjawab pertanyaan: alternatifnya yang lebih pantas siapa? Pencapresan memang ”elitokrasi”. Penentunya para elite partai. Tetapi, semuanya akan diuji rakyat pada ”hari penghakiman” 19 April 2019.