Tak Ada Warga yang Mau Menggantikan
Sukisno, Ketua RT Selama 18 Periode
Umumnya masa pengabdian pemimpin hanya lima tahun. Namun, aturan itu tidak berlaku bagi ketua RT. Sukisno menjabat ketua RT paling lama di Surabaya, 18 periode tanpa jeda.
IBU-ibu PKK bergantian keluar dari sebuah rumah di Sidotopo Sekolahan II Minggu pagi itu (10/6). Baru selesai arisan. Pada bagian teras, tampak papan penanda jabatan. Itulah rumah ketua RT 02, RW VI, Kelurahan Sidotopo, Kecamatan Semampir. Rumah Sukisno.
Pria yang sesuai data di surat nikahnya kini berusia 75 tahun itu sedang duduk di terasnya. Menunggu sampai ruang tamu kosong. Sementara itu, Ponimah, sang istri, mengantarkan ibu-ibu tersebut keluar. Kegiatan itu biasanya tak diadakan Minggu pagi, melainkan sore atau malam. Berhubung bulan puasa, waktu arisan dimajukan.
Setelah ruang tamu kosong, barulah Kisno –sapaan Sukisno– mempersilakan masuk untuk mulai wawancara. Tidak ada sofa. Hanya dua karpet digelar. Kisno duduk di salah satu sudut, bersandar ke dinding putih.
Ingatan Kisno agak simpang siur saat ditanya sejarahnya menjadi ketua RT. Waktu 18 periode tentu sangat lama. Sejak lingkungan rumahnya, Sidotopo, masih minim hunian. ”Nggak banyak rumah dulu di sini
Cuma pohon-pohon, rumahnya pun dari kayu dan bambu,” kenang Kisno.
Dia masih berusia belasan ketika menerima tugas sebagai pemimpin di lingkungannya. Sekitar pertengahan 1950-an. Dia baru saja lulus SD. Dulu, istilahnya bukan ketua RT. Tetapi, pengurus kampung. ”Saya diminta jadi pengurus di RK (rukun kampung, Red),” tuturnya.
Kisno menjelaskan, RK sama dengan rukun warga (RW) zaman sekarang. Sedangkan kelurahan dulu disebut dengan istilah ”lingkungan”. Sejak muda, bapak tiga anak itu aktif mengurus lingkungan rumahnya. Bukan karena keinginan sendiri, apalagi mengajukan diri. Dulu, nyaris tidak ada yang mau menjadi pengurus kampung. Susah, katanya. Harus berhadapan dengan warga yang macam-macam wataknya.
Kisno tak menyangka, tugasnya itu dilanjutkan sampai sekarang. Tidak ada warga lain yang mau menggantikan tugasnya. Padahal, dia sudah berupaya mengader. ”Pelan-pelan, saya bujuk-bujuk. Tapi, orangnya langsung kerasa (mau dijadikan RT), akhirnya dia ngilang,” katanya, lantas tertawa. Menampakkan giginya yang tinggal satu-satu.
Kisno sudah menjabat selama 18 periode. Satu periode jika merunut pada pasal 20 Permendagri 5/2007 adalah lima tahun. Namun, sebelum aturan itu turun, biasanya periodenya berjalan tiga tahun atau berdasar kesepakatan warga.
Banyak duka dan suka yang dia rasakan. Dukanya, Kisno tidak jarang menjadi bulan-bulanan protes warga. Kebanyakan masalah kecemburuan sosial. Ada yang tak kebagian sembako, nggondok ke ketua RT. Ada yang tidak suka aturan baru, nantang ketua RT. ”Sering ditantang-tantang begitu. Saya tantang balik,” ujarnya. Apa tantangannya? ”Ya sudah, kalau Sampean saja yang jadi RT, bagaimana?” lanjutnya tenang.
Kalau sudah keluar kalimat sakti mandraguna itu, orangorang langsung mundur teratur. Nurut. Tidak ada yang suka hati menggantikan Kisno. Bahkan, warga lain pun tidak menginginkan pengganti. Kisno-lah yang paling pas. Itu dituturkan Ponimah. Sebenarnya pernah ada tokoh di lingkungan mereka yang mau menggantikan jadi RT. Sayang, orangnya keras. Suka bawa-bawa arit. ”Sudah, mending Pak Kisno saja. Tegas tapi sabar. Nyenengno,” ujar Ponimah, membeo kata-kata warga.
Ada beberapa hal yang membuat Kisno betah lama-lama jadi RT. Pertama, dia tinggal di rumah peninggalan orang tuanya. Kisno tak ingin pindah dari Sidotopo meski dia lahir di Pasuruan. Kedua, ketua RT adalah pekerjaan yang direstui orang tuanya.
”Awalnya mau jadi angkatan darat. Seperti bapak saya,” terang pria penggemar kothokan dan kare ayam itu. Sayang, bapaknya tak mengizinkan. Padahal, seragam sudah siap. Tinggal berangkat. Tapi, kalau tetap berangkat, mungkin dia tak akan bertemu Ponimah.
Pengabdian Kisno tidak sia-sia. Dia akhirnya mendapatkan penghargaan dari Pemkot Surabaya. Penghargaan karena turut membangun Kota Surabaya selama puluhan tahun sebagai ketua RT. Kisno menerima penghargaan itu langsung dari Wali Kota Tri Rismaharini di balai kota saat upacara ulang tahun ke-725 Surabaya pada 31 Mei lalu. Saking bangganya, piagam itu dia pajang di ruangan depan. Bersanding dengan foto anak keduanya yang menjadi kepala desa di Pasuruan.