Membawa Agama dalam Politik
MEMASUKI tahun politik memang selalu menyuguhkan tensi yang agak panas. Namun, tiga tahun belakangan ini, ketegangan yang ada sudah cenderung melampaui batas. Yakni, menggunakan agama, lengkap dengan jargon-jargonnya, untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Hal tersebut mulai vulgar dilakukan saat Pilgub DKI Jakarta 2017, kemudian diterusteruskan pada pilkada serentak 2018 ini, dan tampaknya akan diteruskan hingga Pilpres 2019. Sejumlah politikus, baik muda maupun kawakan, tak sungkan lagi melakukan labeling terhadap yang bukan sekutunya.
Terakhir, politikus senior Amien Rais memberikan sejumlah pernyataan kontroversial. Mulai membagi partai menjadi partai setan dan partai Allah hingga yang terakhir menyebut Tuhan akan malu jika tidak mengabulkan doa yang minta ganti presiden.
Gejala serupa mulai ramai di Jatim. Sejumlah kiai seolah-olah terlibat perang ayat. Satu pihak menggunakan kiai tertentu untuk menjustifikasi pilihan ke pasangan calon nomor urut 1, kemudian berbalas fatwa kiai tertentu untuk memberikan dasar agama guna memilih pasangan calon nomor urut 2.
Memang tidak ada aturan yang dilanggar dengan menggunakan jargon-jargon agama dalam politik. Pun, membawa-bawa agama dalam politik. Tapi, membawa-bawa agama dalam kepentingan politik jangka pendek seperti pemilihan kepala daerah memberikan dampak buruk yang besar di masyarakat. Bisa membuat perpecahan yang ada semakin tajam sekaligus memperuncing konflik semula. Akibatnya, masyarakat berhadap-hadapan.
Dalam politik, tak ada perkawanan yang abadi, hanya kepentingan yang abadi. Sejumlah elite politik bisa pindah haluan dengan gampang. Namun, masyarakat yang di bawah tak memahami itu. Jika sudah termakan propaganda politik yang menggunakan agama, hampir semua masyarakat akan mengeras. Siap berhadap-hadapan dan selalu mereka-mereka itulah yang bertarung paling keras. Sementara itu, para elite politik yang di atas saling nego-nego, dan jika nego tercapai, mereka bisa pindah sisi. Tanpa memedulikan masyarakat yang telah dibakarnya.
Seharusnya agama dijadikan dasar panduan perilaku para politikus, bukan digunakan sebagai alat propaganda.
Karena itu, jika akhlak agama terinternalisasi, para politikus tak akan korupsi. Sebab, mereka tahu bahwa agama mereka melarang untuk korupsi. Seharusnya seperti itulah peran agama dalam politik. Bukan malah dijadikan propaganda mendulang suara saja.