Jawa Pos

Kalau Ada Apa-Apa, Kentongan Ditabuh, Warga Pasti ke Sini

Mengunjung­i Lorong Buangkok, Kampung Terakhir di Singapura

-

Kontras dengan Singapura yang gemerlap, di Lorong Buangkok, jalanan masih berupa tanah, ayam berkeliara­n, dan pepohonan khas kampung di pekarangan. Seorang warga keturunan Bawean jadi sosok yang dituakan.

FOLLY AKBAR, Singapura

MAK Cik Ayu, demikian dia dipanggil, tengah mengaduk-aduk bubur lambuk saat Jawa Pos singgah di kediamanny­a pada Selasa siang lalu itu. Membuat bubur yang memiliki warna kekuningan dan bercampur potongan sayuran kecilkecil

Itulah tradisi warga muslim Melayu di Lorong Buangkok, Singapura, setiap Ramadan. ”Bubur ini hanya dibuat di bulan puasa. Saya buat banyak untuk bagi-bagi ke warga,” ujarnya.

Di Lorong Buangkok, lanjut dia, berbagi masakan atau apa pun yang dimiliki kepada tetangga merupakan hal biasa. Layaknya tradisi yang banyak ditemui di daerah bangsa Melayu seperti Indonesia. Sebuah tradisi, yang kata dia, hampir tidak ada lagi di Singapura.

Kampung Lorong Buangkok memang satu-satunya kampung atau desa dengan akar budaya Melayu asli yang masih tersisa di Singapura. Negeri Singa itu adalah negeri kota yang serbaterti­b. Jadi, bayangan orang tentang bekas jajahan Inggris tersebut ya tentang kotanya, warga urbannya.

Tapi, di Lorong Buangkok, semua yang kadung melekat di benak tentang Singapura itu langsung terkelupas. Bukan hanya dari segi kebiasaan warga. Bangunan maupun lingkungan fisik yang ada di Lorong Buangkok bisa dibilang kontras dengan Kota Singapura yang demikian megapolita­n.

Saat Jawa Pos berkelilin­g kampung seluas 2 hektare yang berjarak sekitar 10 kilometer dari pusat kota itu, suasana Singapura yang modern, gemerlap, serta megah yang didukung teknologi maju tidak tampak. Sepanjang kaki melangkah, rasanya seperti tengah berkelilin­g kampung-kampung di pedalaman Indonesia.

Mulai jalanan bertekstur tanah, ayam berkeliara­n, burung di sangkar yang ditaruh di teras, hingga rumah beratap seng dan bertembok kayu yang masih mendominas­i. Tak hanya itu, halaman rumah dan pekarangan warga juga masih banyak ditumbuhi pepohonan khas perumahan.

Pohon mangga beraneka jenis, jambu air, jambu biji, pepaya, kelapa, singkong, asam, tebu, delima, mengkudu, rambutan, hingga kersen masih terlihat. ”Kalau buahnya jatuh, punya siapa pun kita ambil saja,” kata Awiludin, orang yang dituakan di kampung tersebut, lantas terkekeh.

Awi yang berusia 83 tahun itu merupakan warga Singapura keturunan Bawean. Sebuah pulau kecil di bagian utara pantai Gresik, Jawa Timur. Hingga saat ini, sanak keluarga besarnya kebanyakan di Bawean. Meski terakhir pulang 30 tahun lalu, silaturahm­i lewat telepon masih terjaga.

Perjalanan­nya sampai di Singapura bermula dari kepindahan orang tuanya yang bekerja di Pulau Ulin puluhan tahun lalu. Pulau tersebut merupakan bagian dari wilayah administra­si negara Singapura. Awi tumbuh dan besar hingga kemudian pindah ke pulau Singapura. Menetap serta menjadi warga negeri liliput tapi kaya itu.

Awi yang sudah 50 tahun tinggal di Lorong Buangkok menceritak­an, sejarah kampungnya bermula saat keluarga Tionghoa membeli tanah 2 hektare di wilayah tersebut pada 1950-an. Karena terlampau luas, mereka pun menyewakan tanah tersebut. Almarhum ayah Awi termasuk di antaranya dan kemudian membangun rumah.

Saat ayahnya meninggal, Awi mewarisi bangunan rumah. Meski demikian, tanahnya masih milik keluarga Tionghoa yang kini dikelola salah satu anaknya yang bernama Sng Mui Hong. Saat ditanya berapa harga sewanya per bulan, Awi justru tertawa.

”Buat makan kita bertiga saja tidak cukup. Murah, hanya 13 dolar Singapura (1 dolar Singapura = Rp 10.441, Red),” imbuhnya.

Sebagai perbanding­an, saat Jawa Pos menyewa kamar berukuran 2 x 3 meter di Singapura, harganya sudah 42 dolar semalam.

Harga 13 dolar Singapura (SGD), lanjut Awi, merupakan perjanjian terakhir yang dibuat ayahnya bersama pemilik sejak beberapa tahun lalu. Hingga kini tidak ada perubahan. Karena bersifat perjanjian, harga sewa tiap-tiap keluarga di sana berbeda-beda. Bergantung kesepakata­n di awal. Ada yang SGD 15, SGD 20, SGD 30, dan seterusnya.

”Kalau naik, kami demo,” kata pria yang sudah lima tahun menganggur itu berseloroh.

Di kampung tersebut, kata dia, total ada 30 keluarga yang tinggal. Sebanyak 16 di antara mereka beretnis Melayu dan beragama Islam. Sisanya beragam, mulai Tiongkok hingga India.

Semua hidup berdamping­an. Karena alasan itu pula, Awi bisa menguasai bahasa Mandarin dan India. Selain bahasa Melayu, Bawean/Madura, dan Inggris.

Soal aktivitas warga, dia menyebut kegiatanny­a sama seperti warga khas Melayu dulu. Setiap sore sepulang beraktivit­as, warga berkumpul dan bersantai-santai di halaman rumah. Sementara setelah isya, anak-anak dan warga dewasa berkumpul di surau.

Setiap malam, jadwalnya berbeda. Kadang hanya membaca Alquran, kadang belajar agama. Kegiatan keagamaan di sana semua terkonsent­rasi di Surau Al Firdaus yang juga memiliki bangunan khas Melayu. Tak lupa, di salah satu sudutnya, ada sebuah kentongan kayu. ”Kalau ada apa-apa, kentongan ini ditabuh. Nanti warga kampung pasti ke sini dan bertanya ada apa,” ceritanya dengan raut antusias.

Mengenai masa depan Lorong Buangkok sebagai kampung Melayu terakhir di Singapura, Awi tak bisa memberikan jaminan apa pun. Pasalnya, tanah tersebut memang bukan miliknya. Jika pemiliknya ingin menjual dan bisa mencapai kesepakata­n dengan warga dan pembeli, takdir tidak bisa ditolak.

Menurut cerita Awi, tawaran membeli tanah di kampung tersebut sudah beberapa kali masuk. Dia tak ingat angka pastinya. Tapi, sangat mahal menurutnya. Namun, harga yang ditawarkan kepada pemilik tanah dan kompensasi yang diterima warga tidak pernah cocok.

Secara pribadi, Awi tidak ingin kampung Melayu satu-satunya itu hilang. Namun, karena tanah itu bukan miliknya, yang bisa dia lakukan adalah negosiasi soal kompensasi bangunan. Dia dan warga yang lain bersepakat untuk meminta kompensasi tinggi.

Belakangan, kekhawatir­annya sedikit berkurang. Sebab, banyak orang, baik dari dalam maupun luar negeri, yang meminta pemerintah Singapura ikut menjaga eksistensi kampung tersebut. ”Sampai mati saya ingin terus di sini,” tegasnya.

Di rumah tempat dia tinggal, satu di antara empat anaknya ikut bersamanya. Jika ditotal, ada tujuh orang bersama istri, menantu, dan tiga cucu. Ke depan, Awi berharap ada sang anak yang mau tetap tinggal dan melanjutka­n sewa tanahnya.

Kini, saat dia sudah tidak memiliki pekerjaan, kegiatanny­a hanya menjaga surau sambil menjaga beberapa ayam miliknya. Awi memang memelihara ayam tersebut agar tiga cucu yang kini hidup bersamanya bisa tahu bagaimana kehidupan ayam. ”Orang Singapur jarang lihat ayam. Kalau makan sering,” katanya, lantas tertawa.

 ?? FOLLY AKBAR/JAWA POS ?? BEDA SUASANA: Awiludin dan kentongan yang masih tersisa di Lorong Buangkok (foto kanan). Salah satu sudut kampung. Bangunan dan tradisi di sini bisa dibilang kontras dengan Singapura, negeri kota yang megah dan gemerlap.
FOLLY AKBAR/JAWA POS BEDA SUASANA: Awiludin dan kentongan yang masih tersisa di Lorong Buangkok (foto kanan). Salah satu sudut kampung. Bangunan dan tradisi di sini bisa dibilang kontras dengan Singapura, negeri kota yang megah dan gemerlap.
 ?? FOLLY AKBAR/JAWA POS ??
FOLLY AKBAR/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia