Jawa Pos

Pakai Aplikasi, Diminta Dokumen Asli

Bila Warga Surabaya Menilai Aplikasi Pelayanan Publik

-

Surabaya membuat banyak aplikasi di bidang pemerintah­an. Fungsinya beragam. Mulai membantu internal hingga memudahkan pelayanan publik. Seberapa tahu warga akan hal itu?

AKSESLAH Google Play Store, kemudian ketik kata kunci Pemkot Surabaya. Maka, di sana akan terpampang saplikasi buatan pemkot. Tinggal cari apa kebutuhann­ya. Semua siap diunduh.

Kurang lebih ada 13 jenis aplikasi yang bisa ditemukan warga di laman Android. Aplikasi-aplikasi tersebut mencakup berbagai jenis layanan, mulai kesehatan, pendidikan, hingga lalu lintas. Berbagai nama bernuansa elektronik disematkan. Ada e-health, e-wadul, e-mbengok, e-siswa, e-dishub, e-lampid, Gobis, Goparkir, hingga CCTV SITS.

Sayang, berbagai aplikasi yang sudah disediakan pemkot itu belum diketahui masyarakat secara luas. Bahkan, antara satu aplikasi dan aplikasi yang lain bisa jadi memuat fungsi yang sama. Misalnya, antara e-dishub dengan CCTV SITS. Keduanya sama-sama bisa digunakan untuk memantau kepadatan lalu lintas melalui kamera CCTV yang terpasang di sejumlah titik. Bedanya, menu e-dishub lebih beragam. Sementara itu, CCTV SITS memang khusus menampilka­n pantauan CCTV.

Banyaknya aplikasi tersebut juga ternyata tidak dirasa memudahkan. Misalnya, yang dituturkan salah seorang warga Genteng Janette Bendelina. Perempuan 36 tahun itu mengaku tidak tahu sama sekali soal aplikasi pemkot. Hanya pernah dengar. Dia tidak mengunduh satu pun aplikasi tersebut di perangkat selulernya.

Sebenarnya, menurut Janette, upaya pemkot sudah baik dengan menyediaka­n aplikasi yang bakal memudahkan layanan. ”Tapi, kalau banyak seperti itu, bukannya malah menyusahka­n?” komentarny­a.

Aplikasi yang ada masih dioperasik­an secara terpisah, belum terintegra­si. Padahal, lanjut dia, akan lebih baik kalau aplikasiap­likasi itu dikumpulka­n menjadi satu. Misalnya, aplikasi yang dia gunakan untuk bekerja saat ini.

Dalam aplikasi tersebut, terdapat berbagai macam layanan. Mulai ojek, layanan antar barang, hingga jasa pemijatan. Lebih praktis katanya. Orang hanya perlu mengunduh satu atau dua aplikasi untuk mendapatka­n semua layanan itu. ”Kalau terpisah-pisah, orang malah jadi malas mengunduh karena itu kan akan memakan banyak RAM di HP,” ujar Janette.

Kemudian, dari pengalaman­nya, kemudahan yang ditawarkan di aplikasi tidak selalu sejalan dengan penerapan di lapangan. Dia pernah mencoba salah satu aplikasi ketika mengurus dokumen ke salah satu instansi pemerintah­an. Semua persyarata­n sudah dia penuhi dan unggah dalam aplikasi. Ternyata, ketika hendak mengambil dokumen di UPTSA, dia harus menelan ludah. Dokumen yang diunggah tidak sesuai sehingga dia harus kembali membawa dokumen asli. ”Padahal, harapan kita, aplikasi itu kan bikin kita kerja satu kali aja. Bukan jadi kerja dua kali, harus bawa dokumen asli lagi,” lanjutnya.

Sebenarnya, menurut Janette, layanan publik di Surabaya sudah baik. Malah pelayanan langsung di tempatnya jauh lebih nyaman daripada lewat aplikasi. Meski begitu, dia mengaku ingin mencoba aplikasi jika sudah ada peningkata­n dan perbaikan.

Lain lagi yang dialami Khoirunnis­a, 23. Warga Gubeng itu menggunaka­n salah satu aplikasi pemkot, yakni e-health. ”Kebetulan karena saya sedang hamil, maka sering menggunaka­n layanan itu. Karena harus sering periksa ke rumah sakit,” ucapnya.

Hanya aplikasi itulah yang dia gunakan selama delapan bulan terakhir. Itu pun diketahuin­ya dari teman-temannya yang menggunaka­n aplikasi serupa. Selama menggunaka­n e-health, Nisa –sapaan akrabnya– mengaku menerima banyak kemudahan. Terutama soal antrean. Dia tidak perlu datang langsung ke faskes dan mengantre sejak pagi. Cukup ambil nomor antrean di aplikasi. Lalu, datang sesuai jam yang ditentukan.

Namun, Nisa tidak tahu banyak tentang aplikasi lain. Kurang sosialisas­i, katanya. ”Ya, saya pakai yang dipakai teman-teman aja,” lanjut Nisa. Menurut dia, sosialisas­i dan publikasi tentang layanan itu penting. Tidak hanya melalui iklan atau pemberitah­uan resmi, tetapi bisa juga lewat mulut ke mulut. Menyebarka­n lewat pengurus RT/RW misalnya.

Penuturan sedikit berbeda diungkapka­n Andina Purnama Komara. Dia mengaku tahu beberapa aplikasi milik pemkot. Dia juga pernah memiliki aplikasi

SITS. Namun, itu dulu. Sebelum dia me-reset ulang telepon genggamnya. Menurut dia, aplikasi tersebut tidak terlalu penting. Sebab, dia bisa memantau kondisi jalan raya melalui akun

Instagram SITS.”Nggak terlalu penting, kan ada akun Instagramn­ya,” ungkapnya.

Dia menambahka­n adanya ketidakses­uaian dalam aplikasi

SITS. Saat dibuka bersamaan, ada jeda waktu yang terjadi. Meski hanya beberapa detik. ”Dulu waktu dibuka bersamaan sama teman, ada jeda waktu di dalam aplikasi. Padahal, tempatnya sama di Jemur Andayani,” keluhnya.

Hal berbeda diungkapka­n Bobby Dwinanda. Supervisor salah satu perusahaan swasta itu sama sekali tidak mengetahui adanya aplikasi bernama SITS. Meskipun dia setiap hari berkutat di jalan raya. Pemkot dinilaikur­angmemprom­osikannya.

 ?? DOK. JAWA POS ?? KANAL ADUAN: Pemkot bakal meluncurka­n aplikasi e-wadul yang sudah disempurna­kan. Warga bisa menyampaik­an keluhan seperti dalam media sosial lewat aplikasi ini.
DOK. JAWA POS KANAL ADUAN: Pemkot bakal meluncurka­n aplikasi e-wadul yang sudah disempurna­kan. Warga bisa menyampaik­an keluhan seperti dalam media sosial lewat aplikasi ini.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia