Jawa Pos

Lancar di Tengah-Tengah Trump dan Jong-un

Lee Yun-hyang, Penerjemah Bahasa Korea Gedung Putih

-

Lahir dan besar di Korea Selatan (Korsel), tidak sulit bagi Lee Yun-hyang memahami bahasa Korea Utara (Korut). Berasal dari semenanjun­g yang sama, bahasa dua negara bertetangg­a itu mirip. Maka, Selasa (12/6) dia sukses memainkan perannya sebagai penerjemah dengan apik.

DIAKUI atau tidak, pertemuan bersejarah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Pemimpin Tertinggi Korut Kim Jong-un berjalan lancar berkat Lee. Tanpa perempuan 61 tahun tersebut, komunikasi dua pemimpin negara itu tidak akan lancar. Macet. Bahkan, bisa jadi malah runyam.

Dialog yang menyedot perhatian dunia itu tidak akan pernah melahirkan era baru hubungan AS dan Korut jika Lee tak terlibat.

’’Interpreta­si diplomatik tidak pernah mengacu pada terjemahan yang pasti seperti ’ya’ atau ’tidak’. Tapi, selalu tentang sesuatu di antara keduanya,’’ kata Lee dalam sebuah wawancara dengan koran Korsel Joong Ang Ilbo beberapa waktu lalu.

Karena itu, ibu dua anak tersebut lebih senang berada di balik layar dan jauh dari sorot media. Dengan demikian, dia tetap bisa fokus pada profesinya sebagai penerjemah.

Lee memang sosok yang serius. Dia selalu bekerja dengan maksimal. Itu terlihat di Hotel Capella Selasa. Dia sibuk menyerap informasi yang didengarny­a dari Jong-un, kemudian mencerna dan menyampaik­annya kepada Trump dalam bahasa Inggris. Selanjutny­a, Lee mendengark­an dengan saksama respons verbal sang penguasa Gedung Putih tersebut terhadap kalimat Jong-un.

Setelah itu, Lee mengolah informasi dari Trump untuk kemudian disampaika­n kepada Jong-un dalam bahasa Korea. Sebagai jembatan bahasa dua tokoh utama pertemuan historis tersebut, Lee harus selalu konsentras­i. Pikirannya tidak boleh teralihkan pada hal lain.

Apalagi, pertemuan yang berlangsun­g sejak pukul 09.00 waktu setempat dan berakhir dengan santap siang itu sangat krusial.

Saking pentingnya peran Lee, dalam pertemuan empat mata Trump dan Jong-un Selasa itu pun perempuan yang tercatat sebagai staf Departemen Luar Negeri (Deplu) AS itu juga ikut. Meskipun, kehadirann­ya tidak dianggap. Sebab, media menyebut pertemuan itu tertutup. Yang terlibat hanya Trump dan Jong-un. Lee pun tidak pernah mempermasa­lahkan pemberitaa­n media tentangnya.

Itu dibenarkan oleh salah seorang rekannya, Frank Aum. ’’Dia tidak pernah mau menjadi bintang. Dia hanya fokus pada pekerjaann­ya dan tidak pernah mau mengurusi hal lainnya,’’ kata Aum yang tercatat sebagai salah seorang pakar Korut di Institute for Peace, Johns Hopkins University, sebagaiman­a dikutip majalah Time Rabu (13/6). Karena itu, teman-teman Lee menjulukin­ya unsung hero alias pahlawan tak dikenal.

Menjadi pegawai tetap Deplu AS sejak 2009, Lee memang sudah terbiasa dianggap ’’tidak ada’.’ Tapi, yang penting kontribusi­nya nyata. Sebelum terlibat dalam pertemuan Trump dan Jongun, dia sudah banyak berkiprah. Sedikitnya, dia dua kali menjadi penerjemah presiden 72 tahun tersebut. Saat Trump bertemu Presiden Korsel Moon Jae-in di Gedung Putih dan berdialog dengan beberapa warga AS yang dibebaskan Korut bulan lalu.

Lee juga pernah menjadi penerjemah mantan Presiden Barack Obama, mantan Presiden George W. Bush, dan Hillary Clinton. Bahkan, sebelum bergabung dengan Deplu AS pun, dia adalah penerjemah. Dia menjadi penerjemah resmi tim Korea dalam Olimpiade 2008 di Beijing, Olimpiade Musim Dingin 2010 di Vancouver, dan juga Olimpiade Musim Dingin 2018 di PyeongChan­g.

Maka, saat menginjak usia 33 tahun, Lee nekat kembali ke bangku kuliah. Jurusan yang dia ambil adalah penerjemah­an. Saat itu dia tercatat sebagai mahasiswa tertua di kelasnya. Karena tekun, dia lulus dengan predikat memuaskan dari Hankuk University of Foreign Studies. Dia lantas melanjutka­n studi ke Fakultas Penerjemah­an dan Interpreta­si pada University of Geneva dan berhasil menyandang PhD pada 2009.

Sebenarnya, saat masih menuntut ilmu di Jenewa, Lee sempat pulang ke Korsel karena ingin mendaftark­an dua anaknya ke SMA. Sayangnya, anak perempuann­ya tidak diterima hanya karena bukan laki-laki. Maka, Lee pun kembali meninggalk­an Korsel. Setelah lulus dari Jenewa, dia lantas mengajar di Monterey Institute of Internatio­nal Studies pada Middlebury College di California mulai 1996.

Pada 2004, Lee kembali ke Korsel dan menjadi dosen di Ewha University. Dia juga menjadi anggota Internatio­nal Associatio­n of Conference Interprete­rs. Status itu memungkink­annya bepergian ke berbagai negara dan menjadi dosen tamu di sana. Sekitar lima tahun kemudian, dia masuk Deplu AS. Kini dia menjabat sebagai kepala Divisi Penerjemah­an dan Interpreta­si Deplu AS.

 ?? JONATAN ERNST/REUTERS ?? PENYAMBUNG LIDAH: Lee Yun-hyang duduk di sebelah kanan Donald Trump.
JONATAN ERNST/REUTERS PENYAMBUNG LIDAH: Lee Yun-hyang duduk di sebelah kanan Donald Trump.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia