Jawa Pos

Rindu Meladang Bersama Ayah, Makan Lurifedah Buatan Ibu

-

LAMPU temaram sayup-sayup terlihat dari Masjid Al Imam yang ada di kawasan Puspa Agro Minggu malam (10/6). Suasana malam yang tenang membuat beberapa penghuni Aparna Jemundo yang mayoritas imigran asing ingin menghabisk­an malam dengan beriktikaf. Begitu pula yang dilakukan Mohammad Arfat.

Lelaki yang baru saja berulang tahun ke-21 tersebut mengenakan sarung warna biru bermotif kotak-kotak. Atasan model kaus berkerah warna merah membuatnya terlihat santai, sekaligus bersahaja. Arfat tiba di masjid sejak pukul 21.00. ’’Ya biasanya di sini sama teman-teman sembari menunggu salat Tahajud,” ujarnya dengan nada lembut.

Tak hanya berdiam diri, Arfat selalu memenuhi kegiatanny­a di Ramadan dengan banyak mengaji dan belajar agama. Bagi dia, waktu hidup yang masih diberikan Allah kepadanya selalu berharga dan harus digunakan dengan bijak. ’’Meski, Ramadan lima tahun ini tetap saja tak sama. Tapi, pesan ayah harus selalu pegang teguh agama, apa pun yang terjadi,” imbuhnya lirih.

Sejak akhir 2015, Arfat resmi menambah jumlah imigran dari etnis Indo-Arya Rohingya di Myanmar yang mengungsi ke Indonesia menjadi 13. Seluruhnya tinggal di lantai 1 Aparna Jemundo. Anak kedua dari lima bersaudara pasangan Sham Shul Hudah dan Nuur Baar tersebut terpaksa melarikan diri dari kediamanny­a di Distrik Saliprang Meyadong, Kota Maungdow Arakan, wilayah Rakhine, pada 2013 akibat konflik yang terus memanas.

’’Semua bangunan, sekolah, dan masjid dibakar. Laki-laki seperti saya yang cuma petani ditembaki. Jadi, saya naik kapal dari Pelabuhan Dawnkali, Myanmar, sana. Terombanga­mbing di laut 27 hari. Selama 15 hari makan hanya mengandalk­an kapal besar lewat mau beri, lalu sampai di Aceh,” tuturnya. Nahas, pelarian Arfat dan rombongann­ya yang ingin menuju Australia tak berbuah mulus.

’’Malahan saya sudah pernah dipenjara dua tahun di Manado. Ayah, ibu, saudara lari ke Bangladesh,” kisahnya pilu. Begitu membicarak­an soal Lebaran, raut wajah pemuda yang menyukai kisah Negeri Lima Menara itu langsung sedih. Sudah lima tahun dia tinggal di Indonesia. Bahasa Indonesia pun sudah nyaris lancar. Tapi, tak ada tanda kewarganeg­araan yang sah bakal dimiliki.

Hari Raya Idul Fitri pun tak lagi jadi momen bahagia untuknya. Sedih dan rindu yang mendalam yang tersisa di benak Arfat selama setengah dekade terkurung di ruangan yang dia sebut dengan penjara dalam nada sarkasme itu. ’’Bagaimana, mau ke mana-mana tidak punya KTP. Sekolah tidak bisa, kerja apalagi,” ujarnya dengan nada gamang. Lebaran selalu dia habiskan dengan belajar dan menonton berita di televisi.

’’Hmm, hal yang paling aku rindukan. Meladang sama ayah dan makan lurifedah (sejenis roti kepal dari tepung beras khas masyarakat Rohingya, Red) buatan ibu. Enak sekali itu, seperti masakan Padang kalau di sini. Superenak,” katanya akhirnya menyiratka­n senyuman. Harapnya, kelak dia bisa belajar di pondok pesantren di Indonesia. Negara yang menghargai Islam.

 ?? HANUNG HAMBARA/JAWA POS ??
HANUNG HAMBARA/JAWA POS
 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia