Jawa Pos

Ingin Pulang Kampung, tapi Tak Tahu ke Mana

-

ADA dua hal yang dirindukan Muhammad Shuaibe setiap kali Lebaran tiba. Gussaw salang dan bubur samai buatan sang ibu serta momen membelikan baju kedua adiknya. Gussaw adalah sejenis gulai berbahan daging sapi dan terdiri atas sejumlah rempah khas Myanmar. Biasa menghiasi meja makan muslim Myanmar. Lebaran pria dewasa yang sudah bekerja di Rakhine akan sempurna jika sebagian rezekinya digunakan untuk membelikan baju baru buat saudara-saudaranya.

Lebaran kali ini tepat setengah dekade pria 32 tahun itu mengungsi di Apartemen Sederhana (Aparna) Jemundo, Sidoarjo. Ada 13 teman lainnya dari negara yang sama, Myanmar. Shuaibe sendiri berasal dari kawasan Rakhine, Kota Maungdaw, Kampung Mangnamah. Kawannya yang lain berasal dari kampung dan kota yang berbeda-beda, tetapi masih berada dalam satu kawasan, Rakhine. Mereka samasama diasingkan dan sengaja lari mencari tempat aman.

Sulung dari tiga bersaudara itu masuk daftar hitam polisi setempat pada 2012. Ada ratusan remaja lain di kampungnya yang juga tercantum dalam daftar tersebut. Mereka yang masuk daftar hitam umumnya berasal dari keluarga terpandang dan kaum berpendidi­kan. Shuaibe sendiri adalah guru bahasa Inggris dan matematika. Ayahnya juga seorang guru dan imam masjid. Dia pun tidak memahami alasannya masuk daftar orang yang dianggap sebagai pengacau. ’’Mereka yang masuk daftar hitam segera ditangkap dan dibunuh,’’ jelasnya. Sejak saat itu dia pergi dari rumah menuju ke Bangladesh. Mencari kapal dan hendak menuju ke Australia.

Rute awal yang ditempuh Shuaibe adalah Bangladesh–Thailand. Dari Bangladesh, dia menempuh perjalanan dengan menumpangi kapal selama tujuh hari tujuh malam. Dia tidak sendiri. Dalam kapal itu ada 120 orang lainnya yang juga ikut mengungsi. Mereka berdesakan dalam kapal. ’’Sesak sekali,’’ katanya.

Dari Thailand ke Penang, Malaysia, ditempuh selama tiga hari. Dia harus berganti kapal dan kali ini lebih layak. Kapal memiliki atap yang bisa menaungi pengungsi dari terik matahari. Kapal sebelumnya tidak beratap. Shuaibe kemudian menempuh jalur Penang, Malaysia, menuju ke Makassar selama lebih dari seminggu. Di sana mereka dipecah menjadi beberapa kapal dengan ukuran yang lebih kecil. Nah, di tengah perjalanan saat menuju ke Australia, dia tertangkap anggota TNI-AL. Tepatnya di perairan utara Nusa Tenggara Timur.

Shuaibe sangat fasih berbahasa Indonesia. Secara tulis maupun oral. Dia juga cinta batik. Saat ditemui di Aparna Jemundo Minggu malam (10/6), penampilan­nya cukup perlente. Menggunaka­n kemeja batik hitam dan celana jins.

Selain bersedia diwawancar­ai Jawa Pos, malam itu digunakan untuk menunggu waktu salat Tahajud dan sahur. Shuaibe menyatakan, setiap selesai salat, doanya tidak berubah. Dia mengingink­an sebuah identitas atau kewarganeg­araan. ’’Saya selalu berdoa supaya masa-masa ini cepat selesai,’’ ucapnya.

Shuaibe tidak jemu merapalkan doa setiap Ramadan. Dia percaya suatu saat doanya akan terkabul. Selain berdoa, dia mengkhatam­kan baca Alquran lima kali setiap Ramadan. Jika dulu Shuaibe ingin tinggal di Australia, saat ini keinginan itu berubah. ’’Di negara mana saja asal saya bisa dapat identitas. Saya ingin bekerja,’’ paparnya.

Setiap beberapa waktu sekali, Shuaibe juga masih rutin bertukar kabar lewat WhatssApp bersama keluargany­a yang kini mengungsi di Bangladesh. Namun, dia tidak mungkin menuju ke pengungsia­n itu. Hingga waktu yang tidak bisa ditentukan, dia harus tinggal di Indonesia. Hingga mendapat negara ketiga yang mau menerimany­a.

Mata Shuaibe berkaca-kaca saat ditanya kegiatan yang ingin dilakukan selama berlebaran di Indonesia. Bagi Shuaibe, Lebaran adalah pulang ke kampung halaman. ’’Tapi harus pulang ke mana?’’ katanya dengan nada berat.

 ?? HANUNG HAMBARA/JAWA POS ??
HANUNG HAMBARA/JAWA POS
 ?? HANUNG HAMBARA/JAWA POS ??
HANUNG HAMBARA/JAWA POS
 ??  ??
 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia