KANGEN Keluarga dan Segelas Es Hilumur
Ribuan imigran muslim dari berbagai penjuru dunia menjalani Ramadan dan Lebaran di Flat Puspa Agro, Sidoarjo. Tidak ada perayaan berlebihan pada hari kemenangan bagi umat muslim itu. Mereka rindu keluarga dan rumah. Di sisi lain, mereka juga menunggu kejelasan, sampai kapan bisa mendapat kewarganegaraan dari negara ketiga.
TAHUN ini merupakan tahun keempat bagi Ibrahim Ahmad Adam di Indonesia. Imigran asal
Sudan Utara itu terpisah dari keluarganya di Kota Darfur karena perang saudara. Puluhan ribu orang tewas dan sekitar dua juta jiwa mengungsi ke berbagai negara.
Jawa Pos menemui Ibrahim di masjid Puspa Agro di sisi selatan flat Minggu (10/6) pukul 22.00. Dia mengenakan jersey Liverpool putih dengan celana panjang untuk olahraga. Begitulah penampilannya setiap hari. ’’Assalamualaikum saudaraku. Apa kabar?’’ kata Ibrahim yang baru saja menuntaskan makan malamnya.
Puasanya lancar. Ibadahnya juga tidak pernah putus. Dia menjadi jamaah tetap masjid tersebut. Bukan hanya salat lima waktu dan Tarawih, melainkan juga salat malam. Dalam sehari, dia bisa membaca dua hingga tiga juz Alquran. Ramadan memang selalu dinanti. Doadoa dipanjatkan agar keluarganya selalu dilindungi oleh-Nya.
Ibrahim sangat rindu keluarga dan suasana Ramadan di Darfur. Masih ada ibu, empat saudara laki-laki, dan satu saudara perempuan di sana. Adapun ayahnya sudah tiada. Ayahna tewas dalam kerusuhan yang terjadi pada 2004. Ibrahim hanya punya kesempatan sekali dalam sebulan untuk menelepon keluarga. Hanya ada satu nomor yang bisa dikontak. Bukan nomor ponsel keluarganya, melainkan punya tetangga. Nomor itu biasanya juga dihubungi para imigran lain yang ingin menanyakan keadaan keluarga di negara asal. Namun, dalam Lebaran kali ini, dia belum tahu apakah bisa berkomunikasi dengan keluarga atau tidak. ’’Di sana sinyal sangat susah, apalagi internet,’’ jelas pria yang kini berusia 34 tahun tersebut.
Empat tahun tidak merasakan suasana Lebaran di Sudan membuat Ibrahim sangat rindu. Dia ingin sekali kembali bersama keluarga. Namun, hal itu tampaknya mustahil. Jika kembali, nyawanya dan keluarganya pasti terancam.
Saat ini Ibrahim yakin keluarganya menyediakan hilumur untuk disantap bersama. Itu merupakan hidangan yang hanya dibuat saat Lebaran. Satu tegukan mungkin bisa mengobati rasa kangennya.
Namun, dia tidak bisa membuatnya di Indonesia karena bahan-bahannya hanya ada di Sudan. Ibrahim menerangkan, minuman itu dibuat dari adonan tepung yang dikeringkan hingga berwarna kehitaman. Adonan tersebut lantas disiram dengan air. Sekilas, minuman itu tampak seperti kopi. Namun, rasanya asam dan manis. Dia menyatakan, minuman tersebut paling enak disajikan dengan es karena Sudan sangat panas. Panas Surabaya dan Sidoarjo, kata Ibrahim, tidak ada apa-apanya.
Menyambut Lebaran kali ini, seluruh pengungsi dari Sudan yang berjumlah 20 orang mengumpulkan uang. Setiap bulan mereka mendapat tunjangan
dari IOM (International Organization for Migration) lebih dari Rp 1 juta. Uang tersebut bakal digunakan untuk memasak. ’’Seluruh imigran sudah seperti keluarga. Kami memasak dan makan bersama,’’ ungkapnya.
Biasanya, mereka membuat kari ayam yang disajikan dengan roti atau nasi. Sementara itu, saat Idul Adha mereka biasanya patungan untuk membeli seekor kambing.
Meski tempat tinggal dan makanan terjamin, Ibrahim merasa seperti di penjara. Hal itu tentu dirasakan para imigran lainnya. Mereka tidak boleh bekerja, menikah, dan bersekolah. Status kewarganegaraan mereka tidak jelas. ’’Bisakah kamu membayangkan bagaimana rasanya,’’ ucap pria yang hobi bermain futsal itu.
Kadang, dia merasa ingin hidup seperti masyarakat Indonesia. Bekerja serta memiliki keturunan dan tujuan hidup. Di usianya kini Ibrahim seharusnya memang sudah mencapai semuanya. Karena itu, dia merasa masyarakat Indonesia sepatutnya bersyukur karena sudah merdeka dan hidup dengan damai.
Tujuan hidupnya kini hanya satu. Menunggu negara ketiga menerimanya, lalu memulai hidup baru. Kerja apa pun tidak masalah. Bagi dia, yang terpenting bisa hidup dan mendapatkan hak asasi.
Jika diizinkan, dia ingin tinggal di Indonesia. Namun, keinginan itu tidak mungkin terjadi. Sebab, Indonesia tidak termasuk daftar negara yang bisa menerima para imigran tersebut. ’’Dibanding tempat pengungsian lain, Indonesia paling nyaman. Orang-orang di sini begitu ramah dengan kami,’’ ungkapnya.