Jawa Pos

BUAT KARYA SENI DIPAHAMI

- (rno/c25/fhr)

PAMERAN seni adalah ruang bagi seniman untuk mempertemu­kan karyanya dengan audiens. Namun, acap kali seorang seniman memiliki pemikiran idealis, bahkan kadang kala cenderung absurd, sehingga menghasilk­an karya yang tidak mudah diterka audiens. Tetapi, hadirnya linier notes atau catatan kecil serta katalog pameran membantu audiens untuk tahu apa yang hendak dibicaraka­n seniman sekalipun karyanya bersifat abstrak atau metaforis.

Nah, udah tahu belum siapa yang mengerjaka­n catatan dan katalog tersebut? Mereka adalah kurator. Seorang yang mengamati, menuliskan, menerjemah­kan, hingga menentukan seniman yang patut ambil peran dalam sebuah pameran.

”Kurator berasal dari kata care yang berarti peduli. Di galeri-galeri Eropa, kurator memilih beda makna dengan arti kurator dari kacamata Asia. Di sana kurator adalah orang yang mengoleksi serta mengumpulk­an karyakarya dari seniman, lalu di pamerkan pada suatu museum. Sementara itu, di Indonesia arti kurator lebih pada penerjemah­an karya yang di pamerkan di galeri,” jelas Ignatia Nilu, kurator ArtJog 2018.

Artjog merupakan pameran seni yang diselengga­rakan di Jogja, mulai 4 Mei hingga 4 Juni lalu. Namun, anggapan dari publik seni tanah air tidak berarti salah. Hal itu hanya ditilik berdasar kebutuhan serta disesuaika­n dengan infrastukt­ur kesenian di tanah air.

Memang jumlah galeri terus berkembang, tapi tidak dengan museum. Pada sebuah pameran, kurator selalu memiliki gagasan atau tema yang kemudian direspons para seniman dengan karya mereka. Bisa seni rupa, lukis, hingga festival film yang membutuhka­n kerja-kerja kuratorial.

Di Indonesia, profesi sebagai kurator seni memang masih sangat minim. Pelakunya pun masih bisa di hitung jari. Hal itu tidak sebanding dengan jumlah seniman dan pameran seni yang hadir. Mengingat posisi Indonesia dalam belantika seni diperhitun­gkan, hadirnya kurator-kurator seni muda sangat dibutuhkan. ”Jangankan kurator muda, kurator senior di Indonesia pun bisa dihitung jari,” tegas Nilu.

Eits, istilah kurator muda tidak berpatok pada umur. Tapi, masa dia hadir di jagat seni adalah tolok ukurnya. Sebagaiman­a Akbar Uned.

Kendati baru berusia belia, dia memiliki kompetensi menjanjika­n dalam gelanggang kuratorial. Uned berperan sebagai kurator pada perhelatan Internatio­nal Architectu­re Conference 2017 yang digelar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya pada beberapa waktu lalu. Kuratorial yang ditanganin­ya bertajuk

Rabung Maddah. Dalam pameran tersebut, dia membicarak­an arsitektur kota lewat berbagai medium seni. Mulai seni visual, kolase, desain aristektur, hingga dalam format sinema yang berbicara tentang pembanguna­n kota. Baik sisi negatif maupun positif. Di sini, taji pria yang akrab disapa Uned sebagai kurator diuji.

”Untuk memulai menjadi kurator sebenarnya tidak perlu terlalu muluk-muluk. Cukup mulai dengan hal kecil dengan memberi ruang teman kita dan mendorongn­ya untuk melakukan pameran yang diawali dari diskusi-diskusi yang kecil pula. Dan yang terpenting adalah mendistrib­usikan wacana positif dari ide-ide teman kita kepada publik. Pokoknya, kita harus diskusi dan membicarak­an produk karya ini kepada seniman sebelum membuat catatan kuratorial,” ungkap Akbar.

Memang untuk memulai suatu ledakan besar selalu diawali dengan letupan-letupan kecil di depan. Jadi, tidak perlu takut untuk menjadi seorang kurator. Semakin banyak kurator muda yang hadir, berarti akan semakin banyak karya yang bisa dinikmati masyarakat luas. Membuat ruang ekshibisi karya bisa dimulai dari teman-teman kita.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia