Di Bawah Mantra Sepak Bola
DALAM Piala Dunia sepak bola, Brasil adalah cinta pertama saya. Itu rasa cinta yang hadir karena faktor keluarga dan lingkungan, hampir sama dengan cara agama hadir kepada saya. Saya beragama Islam karena orang tua saya Islam. Saya mencintai tim sepak bola Brasil karena orang-orang dewasa di kampung saya membicarakan kehebatan Pele dan Brasil terusmenerus pada saat saya mulai mengikuti berita-berita dan menonton beberapa pertandingan Piala Dunia 1978 yang disiarkan TVRI. Pele sudah tidak bermain pada tahun itu, tetapi bagi orang-orang dewasa di kampung saya, Brasil tetap yang paling hebat. Roberto Rivelino masih ada. Selain itu, Brasil memiliki Zico yang disebutsebut sebagai Pele Putih.
Pada tahun itu Argentina yang keluar sebagai juara dan kebanyakan teman saya kemudian bermain bola di jalanan dengan mengenakan kaus Argentina –dengan garis-garis biru, merah, atau cokelat. Kami tidak tahu apa sebenarnya warna garis kaus tim nasional Argentina sebab kami menontonnya pada televisi hitam putih.
Piala Dunia 1982 membawa kesedihan lagi. Brasil, dengan dua bintang Zico dan Socrates dan dianggap sebagai kesebelasan dengan gaya permainan menyerang yang paling indah dalam Piala Dunia di Spanyol, tersingkir oleh Italia yang kemudian keluar sebagai juara dunia.
Pada 1986 saya jatuh cinta kepada Denmark, dengan tiga pemain yang paling saya sukai: Michael Laudrup, Preben Elkjaer, dan Soren Lerby. Mereka mengalahkan Skotlandia (1-0), Uruguay (6-1), dan Jerman Barat (2-0) di fase grup, dan saya tidak percaya ketika membaca berita bahwa Denmark dihancurkan 1-5 oleh Spanyol di babak 16 besar.
”Lagi-lagi Spanyol,” kata Soren Lerby dengan air mata. Dua tahun sebelumnya, Spanyol juga yang menghentikan ledakan mereka di semifinal Piala Eropa melalui adu penalti setelah skor imbang 1-1.
Jadi, dalam pengalaman saya, menikmati sepak bola adalah menikmati kesedihan demi kesedihan jika kita menaruh rasa cinta secara fanatik pada satu kesebelasan. Dan saya pikir itu adalah kutukan yang tak terhindarkan. ”Sepak bola bisa murah hati dan kejam sekaligus. Mereka yang jatuh di bawah mantranya tidak pernah benar-benar melarikan diri,” kata Pele di dalam otobiografinya, Pele: Why Soccer Matters.
Itu kalimat yang ia sampaikan ketika mengenang ayahnya, Dondinho, pemain sepak bola di Rio de Janeiro yang harus mengakhiri mimpinya karena cedera lutut. Ketika Pele menunjukkan kecintaan yang sama terhadap sepak bola, ibunya, Dona Celeste, ketakutan. Bagi Celeste, sepak bola adalah jalan menuju kemiskinan: tidak mendatangkan makanan untuk hari ini dan hanya menghadirkan kegelapan di depan sana.
”Seharusnya ia belajar kedokteran atau hukum,” kata Dona Celeste.
”Jangan takut, Celeste,” kata Dondinho. ”Asalkan ia bisa menggunakan kaki kirinya dengan benar, kau tidak perlu khawatir.” Dondinho sendirilah yang melatih si anak sulung bagaimana cara menyundul bola, menjaga bola sedekat mungkin dengan tubuhnya, dan menendang dengan kaki kiri maupun kanan. Satu-satunya pemain sepak bola yang rekornya tidak bisa disamai oleh Pele adalah ayahnya sendiri: Dondinho pernah memasukkan lima gol yang semuanya dengan sundulan.
”Silakan saja, tapi kalau dia kelaparan, jangan merengek kepadaku,” kata Celeste.
Brasil adalah tempat yang berkelimpahan dalam banyak hal. Ia memiliki emas, minyak, kopi, dan berbagai kekayaan alam lainnya, tetapi orang-orang di sana tampak seperti hidup di dua negara yang berbeda. Para taipan dan politikus di Rio de Janeiro memiliki rumah-rumah bergaya Paris, trek balap kuda, dan liburan pantai mereka. Di luar Rio, ada banyak orang yang tidak mampu mendapatkan makanan yang cukup untuk keluarga mereka.
Keluarga Dondinho tinggal di Bauru, jauh dari Rio. Rumah mereka bukan di lingkungan kumuh, tetapi atapnya bocor dan lantainya terendam banjir saat hujan deras. Setiap hari ada kecemasan di dalam rumah tentang dari mana besok pagi makanan datang. Mengenai hal itu, Pele menyampaikan, ”Kecemasan tentang makanan ini meresap begitu dalam hingga ke tulang-tulang, rasanya seperti hawa dingin yang tak pernah meninggalkan kita. Sejujurnya, saya kadang-kadang merasakannya, bahkan sampai hari ini.”
Pada 1950, ketika Brasil menjadi tuan rumah Piala Dunia untuk kali pertama, kira-kira setengah dari warganya tidak cukup makan dan hanya satu dari tiga orang yang tahu cara membaca dengan benar.
Bertahun-tahun kemudian, setelah karier cemerlangnya di lapangan sepak bola berakhir, Pele bertemu Nelson Mandela dan pemimpin Afrika Selatan itu bertanya, ”Pele, di sini, di Afrika Selatan, kami memiliki banyak orang yang berbeda, berbicara dalam berbagai bahasa. Di Brasil, Anda memiliki begitu banyak kekayaan, dan hanya satu bahasa, Portugis. Jadi, mengapa negara Anda tidak kaya? Mengapa negara Anda tidak bersatu?’’
Ia mengakui tidak mampu menjawabnya saat itu, dan tetap tidak memiliki jawaban yang sempurna sampai sekarang. Ia hanya bisa mengenang sebuah peristiwa pada 16 Juli 1950. Brasil sudah mempersiapkan pesta kemenangan sebelum partai final melawan Uruguay, tetapi mereka kalah oleh tim yang jauh di bawah mereka. Hari itu ia melihat semua orang Brasil menderita bersama sebagai satu bangsa.
Ayahnya menangis, ibunya menangis, semua orang menangis. Pele menemui ayahnya dan mengatakan, ”Nanti akan kubawakan Piala Dunia untukmu.”
Dan ia melakukannya. Tiga kali. (*)
A.S. Laksana, cerpenis dan esais, tinggal di Jakarta