Jawa Pos

Sepeda

- Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.net

’’Percayalah, Sastro, tak pernah hatiku se-plong ini...’’

Di atas ranjang dengan sprei berlipat Sastro yang diajak ngobrol oleh Jendrowati masih tiduran miring. Matanya ketap-ketip. Sepertinya dapat ia pahami inci demi inci curhatan Jendro. Itulah keluhkesah yang dialami perempuan malang di seputar hari Lebaran.

Si perempuan malang itu skripsinya ditolak untuk ketujuh kalinya oleh dosen pembimbing. Paginya, di perantauan itu karena ia tak bisa mudik, terdengar kumandang takbir. Eh, usai salat Ied tetiba masuk WA dari pacarnya. Tanpa babibu si bajindul itu memutus sepihak hubunganny­a dengan perempuan malang ini.

’’Dapatkah kamu merasakan segenap yang kurasakan pagi itu, Sastro? Merasakan jantungku... Nadiku... Napasku...”

Sastro masih tampak malasmalas­an dalam tidur miringnya di atas lipat-lipatan sprei putih kamar Jendro. Matanya saja yang mulai berlinang. Dengan pipi yang masih basah, Jendro menyeka mata Sastro.

Jendro bingung kenapa dirinya ujug-ujug di-cut oleh cowok yang perasaanny­a sudah tidak bekerja lagi itu. Memang, ia tak melaksanak­an usulan kekasihnya soal tema dan topik skripsi. Pantesan ditolak terus oleh ’’dosbim’’-nya.

Kekasihnya usul agar skripsi Jendro adalah analisa tentang foto Jokowi (patung) membonceng Jokowi (asli) naik sepeda. Draf skripsi Jendrowati selalu tak tentang itu. Pernah draf skripsinya analisa tentang foto Sekutu membonceng NICA ditolak, Jendro mengajukan lagi draf skripsi berupa analisa tentang foto Soekarno membonceng Ibu Fatmawati.

Draf skripsi analisa tentang foto Bung Karno dan Bu Fat naik sepeda itu ditampik, Jendro menyodorka­n lagi draf skripsi berupa analisa tentang hubungan cara boncengan dan kedekatan jiwa. Pacaran yang menjelang berakhir bisa ditandai dari cara boncengan mereka. Dan seterusnya. Pokoknya bukan skripsi usulan kekasih Jendro.

Kekasih Jendro marah? Tidak! Ia bahkan menepuk-nepuk bangga pundak Jendro di warung Pak Karto. ’’Kamu hebat. Kamu punya prinsip sendiri. Kamu tidak seperti kerbau yang dicocok cingurnya lalu menurut saja apa pun yang dimaui tuannya. Kamulah istri yang aku idam-idamkan kelak kalau kamu sudah diwisuda...,” kekasihnya berikrar.

’’O ya, Jendro, cara kita goncengan menunjukka­n bahwa kita adalah pasangan abadi, kan?”

Suatu malam setelah berjalanja­lan tak tentu tuju, setelah beberapa kali Jendro ingin menubrukka­n dirinya ke sepeda, sesampai di kamar kos-kosan yang lupa ia tutup jendelanya sudah mapan Sastro di atas ranjang.

Jendro menghardik­nya. Kagetlah Sastro. Ia menggeliat bangun dan melompat ke lantai. Lalu, astaga, ia berjalan terseokseo­k, menyeret-nyeret salah satu kakinya. Kelihatann­ya baru saja ada perempuan yang tega melindas kakinya dengan sepeda.

Merasa iba, Jendro dengan sekuat tenaga menggendon­g, mengobati nya dengan obat-obat a n di kotak P3K, membalutny­a, menaruhnya kembali di ranjang dan menandai kucing jantan yang malang itu dengan nama Sastro.

Hampir setahun sudah hubungan keduanya berlangsun­g. ’’Sudah selama itu pula si bajingan tengik itu memutusku, duh!” kenang Jendro. Keliru! PHK, pemutusan hubungan kasih itu sudah berlangsun­g sejak tiga tahun lalu.

Dan Sastro, kalau ada Jendro, sangat kerasan thenguk-thenguk di kos-kosan Jendro, di negeri ikan yang konsumsi ikannya masih rendah ini. Apabila dilempari ikan Sastro enggan memakannya karena masih larut dalam kesedihan Jendro, Jendro menunjukka­n foto Bu Susi. Baru Sastro lahap memakannya.

’’Sastro, apakah skripsimu juga ditepis berkali-kali? Sudah skripsi ditolaki, eh kamu masih juga kakimu dilukai sepihak oleh kekasihmu? Dan dia lukai pula hatimu?”

’’Meoooooooo­ong...” (*)

 ?? BUDIONO/JAWA POS ??
BUDIONO/JAWA POS
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia