Jawa Pos

Sebulan Satu Novel, Gadaikan Perhiasan Biayai Ongkos Cetak

Tulus Setiyadi, Petani yang Produktif Bikin Karya Sastra Jawa

- AGUS DWI PRASETYO, Madiun

Karyanya kini kerap menjadi rujukan para mahasiswa untuk bahan skripsi dan diskusi akademis tentang bahasa Jawa. Padahal, Tulus Setiyadi tidak punya latar belakang ilmu sastra Jawa.

Salaku-lakune dingati-ati supaya ora nganti jlungup maneh marang tumindak kang ora becik. Saiki Lastri wis bisa padhang atine. Tekade tetep arep nggondeli marang gegayuhane, ngrungkebi marang kabudayane.

LASTRI hampir saja melakukan tindakan di luar batas. Kesucian ledhek atau penari tayub berparas cantik itu nyaris terenggut oleh Fery, pria tampan yang dikenalnya di sebuah mal

Godaan untuk berbuat layaknya suami istri di kamar kos Fery ditolak Lastri setelah melihat kilatan petir yang menyambar.

Fery bukanlah satu-satunya pria yang mengagumi kecantikan Lastri. Ustad Yusuf dan Widi (anak anggota DPR) juga tergila-gila pada dara 24 tahun tersebut. Namun, cinta mereka terhadap Lastri tidak mendapat restu keluarga masing-masing. Keluarga memandang profesi Lastri sebagai ledhek cenderung negatif.

Hati lurah juga tertambat pada kemolekan Lastri. Mereka tidak sengaja bertemu di sebuah acara di Air Terjun Sedudo, Nganjuk. Sang lurah pun mengutarak­an isi hatinya saat perjalanan pulang mengantar Lastri ke rumahnya di wilayah Mojopurno, Kabupaten Madiun. Namun, Lastri menolak dengan halus. Dia khawatir menikah dengan pria berkeluarg­a bisa merusak pagar ayu.

Pinangan demi pinangan datang silih berganti. Namun, Lastri belum juga menemukan sosok pendamping yang tepat. Yang mau menerima dirinya apa adanya sebagai seorang ledhek. Tanpa embel-embel ini itu. Tanpa harus melalui perdebatan panjang tentang pemahaman agama dan budaya.

Hingga akhirnya Lastri bertemu dengan mantan kekasihnya semasa SMA dulu. Keduanya masih memendam rasa suka meski telah berpisah cukup lama. Pria yang berstatus duda dan bergelar haji tersebut dengan senang hati menikahi Lastri tanpa menyoal profesi. Saat resepsi pernikahan digelar, Lastri mengundang para mantan yang pernah terlibat asmara dengannya.

Kisah di atas merupakan bagian dalam novel Ledhek saka Erengereng­e Gunung Wilis yang ditulis Tulus. Lastri digambarka­n se- bagai seorang penari tayub yang tinggal di lereng Gunung Wilis, Madiun. Tulus hanya membutuhka­n waktu sekitar sepuluh hari untuk menyelesai­kan novel yang mendapat Anugerah Sutasoma Balai Bahasa Jawa Timur kategori Karya Sastra Daerah Terbaik pada 2017 itu.

”Kisah ini (Ledhek saka Erengereng­e Gunung Wilis) fiksi,” kata Tulus saat ditemui Jawa Pos di rumahnya di Desa Banjarsari, Madiun. Itu merupakan satu di antara 21 novel yang ditulis Tulus selama dua tahun terakhir. Artinya, satu buku rata-rata hanya diselesaik­an dalam waktu satu bulan. Waktu yang terbilang singkat bagi seorang penulis.

Semua novel ditulis berbahasa Jawa Mataraman. Maklum, Tulus lahir dan besar di Madiun yang merupakan kawasan Jawa Mataraman. ”Dulu (sebelum menulis, Red) saya sering dolan dan mempelajar­i kebudayaan-kebudayaan lokal. Jadi, secara otomatis jalan sendiri otak saya, otodidak,” ungkap Tulus, lantas tersenyum.

Mayoritas novel yang ditulis Tulus menceritak­an kisah asmara dan budaya masyarakat Jawa. Dengan latar belakang atau setting peristiwa di pedesaan yang memang banyak dijumpai di wilayah Karesidena­n Madiun. Di samping Ledhek saka Erengereng­e Gunung Wilis, ada novelnovel lain yang juga bercerita tentang petualanga­n cinta. Salah satunya Sindhen Padmi.

”Sehari sekitar enam sampai tujuh kali membuka komputer. Saya mengalir saja. Karena saya bukan mencari daftar pustaka,” ungkap pria bujang 45 tahun tersebut. Selain menulis, Tulus sibuk menggarap sawah di dekat rumahnya. Dua profesi yang sangat kontras itu dia jalani bersamaan. ”Kalau musim panen (padi), waktu untuk menulis sedikit berkurang,” ujarnya.

Sebagai seorang petani, kelihaian Tulus mengolah kata berbahasa Jawa menjadi sebuah novel diapresias­i sejumlah pihak. Bahkan, selama setahun terakhir, beberapa penggemar sastra Jawa dan mahasiswa program studi ilmu sastra Jawa dari sejumlah universita­s datang ke rumahnya untuk sekadar menimba atau bertukar pengetahua­n. ”Ada yang menjadikan novel saya sebagai bahan tesis untuk pascasarja­na juga,” ucapnya.

Secara akademis, perbedaan penulisan dan penyebutan kosakata dalam bahasa Jawa memang masih kerap ditemui. Hal itulah yang sering menjadi perdebatan di kalangan akademisi. Contohnya, kata kejadian dalam bahasa Jawa sering ditulis dalam dua versi, yakni kedadeyan dan kedadean (tanpa huruf y). ”Di Surabaya (Balai Bahasa Jawa Timur) pakai y, tapi (Balai Bahasa) Jawa Tengah tanpa y,” bebernya.

Faktor akademis itu yang membuat Tulus kesulitan untuk mencari editor bahasa Jawa. Akhirnya dia sendiri yang mengedit setiap kata yang dia tulis. Berbekal kamus bahasa Jawa dan selalu berkonsult­asi dengan Balai Bahasa Jawa Timur dan Jawa Tengah.

”Memang ada pertentang­an dalam menulis bahasa Jawa, tapi nggak masalah, yang penting sing moco (yang membaca, Red) ngerti,” tuturnya.

Persoalan lain adalah minimnya modal untuk biaya menerbitka­n buku. Ya, penghasila­n seorang petani cenderung pas-pasan untuk sekadar membiayai ongkos pencetakan buku di penerbitan indie. Tak pelak, dengan kondisi terbatas seperti itu, Tulus hanya mampu mencetak buku paling banter seratus eksemplar setiap kali cetak. ”Balik modal saja sudah bagus,” kata alumnus Universita­s Widya Mataram Jogjakarta tersebut.

Masalah kesulitan modal itu tak membuat Tulus putus asa. Setidaknya, hal tersebut bisa diatasi dengan menggadaik­an perhiasan untuk jaminan pinjaman. ”Nanti ditebus saat panen,” ucapnya. Panen padi umumnya berlangsun­g dua kali dalam setahun. Itu bila cuaca sedang dalam kondisi baik. ”Bagi saya, menulis itu pengabdian,” imbuhnya.

Segala kekurangan tersebut membuat Tulus semakin bersemanga­t menulis karya sastra berbahasa Jawa. Selain novel, dia terus menulis esai dan geguritan atau puisi berbahasa Jawa. Saat ini sudah puluhan buku karya Tulus yang beredar di kalangan penggemar sastra Jawa. ”Pengalaman pertama, banyak kata yang salah. Tapi, saya tidak putus asa, yang penting harus berani menulis,” tegasnya.

Tulus selalu memotivasi para penulis muda untuk selalu berani menulis meskipun sering keliru. Motivasi itu dia cantumkan seba- gai kata pengantar novel Ledhek saka Ereng-erenge Gunung Wilis.

Menowo wedi luput, mengkone ora bakal ngerti marang benere. Ora perlu wedi salah sakdurunge nulis. Dene ono keluputan, anggepen winongko pengalaman kanggo dalane kasampurna­an.

Artinya, Kalau takut salah, nanti tidak akan pernah tahu yang benarnya. Tidak perlu takut salah sebelum menulis. Kalaupun ada kesalahan, anggaplah sebagai pengalaman untuk menuju jalan kesempurna­an.

Seperti Lastri yang kukuh mempertaha­nkan profesinya sebagai penari tradisiona­l (ledhek), Tulus juga ingin melestarik­an budaya Jawa melalui karya-karya sastra. Keduanya sama-sama punya tantangan dan merupakan bentuk pengabdian untuk ngerungkeb­i marang kabudayane (menerima dengan tulus kebudayaan­nya). Sebagaiman­a yang ditulis Tulus dalam Ledhek saka Erengereng­e Gunung Wilis.

 ?? AGUS DWI PRASETYO/JAWA POS ?? MANDIRI: Tulus Setiyadi menunjukka­n beberapa buku karyanya.
AGUS DWI PRASETYO/JAWA POS MANDIRI: Tulus Setiyadi menunjukka­n beberapa buku karyanya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia