Mencegah Mitos Kesyahidan Baru
ARTIKEL Kardono Setyorakhmadi, Jangan Sampai Aman Abdurrahman Jadi Simbol, di harian ini (23/6) menarik untuk dielaborasi. Artikel tersebut pada intinya merespons vonis mati PN Jakarta Selatan terhadap AmanAbdurrahman, dedengkot ISIS sekaligus amir Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang didakwa mendalangi sejumlah aksi teror di tanah air.
Penulis mengingatkan agar vonis mati terhadap Aman tidak menjadi ”bumerang” di kemudian hari. Sebab, di balik setiap eksekusi mati para terduga teroris, selalu tercipta mitos kesyahidan baru di kalangan para (calon) teroris setelahnya.
Kematian di mata para penganut ideologi terorisme bukanlah sekadar kematian biasa, melainkan kematian agung yang memiliki derajat ”syahid” (menjadi saksi atas kebenaran pesan-pesan Tuhan). Karena itu, kematian di tangan ”musuh-musuh” Allah akan disambut secara heroik dan sukacita oleh para teroris. Modus kematian seperti itulah yang senantiasa dirindukan dan diusahakan (wanted martyrdom) oleh mereka.
Karena itu, tidak terlalu mengherankan jika Aman tidak ingin mengajukan banding atas putusan mati tersebut. Di samping tidak memercayai sistem hukum di negara yang dipersepsi sebagai thaghut, menunda kematian di tangan regu tembak bagi seorang teroris seperti Aman dapat menggoyahkan kekhusyukan, kekhidmatan, dan kemantapan hati untuk menghadap Sang Pencipta. Pendek kata, kematian bagi teroris –baik di tangan petugas Densus 88 maupun regu tembak– akan menyempurnakan aksi amaliyah istisyhadiyah mereka.
Replikasi dan reproduksi tindakan terorisme sebenarnya dapat dipahami melalui semboyan ”mati satu tumbuh seribu” atau ”hidup mulia atau mati syahid”. Dua slogan itu sudah sangat populer bukan hanya di kalangan penganut ideologi radikalisme-terorisme, tetapi juga di kalangan umat muslim secara umum. Kematian Imam Samudra, Amrozi, dan Ali Ghufron di tangan regu tembak pada 2008 terbukti telah menginspirasi banyak pelaku terorisme untuk mengikuti jalan ”perjuangan” mereka.
Pasca kematian Samudra cs, banyak wajah baru pelaku terorisme yang bermunculan. Ada figur Muhammad Ali (pelaku bom Thamrin), Dani Dwi Permana dan Nana Ikhwan Maulana (bom Mega Kuningan), Ahmad Sukri dan Ichwan Nur Salam (bom Kampung Melayu), Santoso (panglima Mujahidin Indonesia Timur), M. Syarif Astanafarif (bom Polres Cirebon), serta masih banyak lagi yang lain. Terakhir, ada keluarga Dita Oeprianto dan keluarga Tri Murtiono (bom di Surabaya).
Tanpa bermaksud mengecilkan arti penegakan hukum terhadap para pelaku tindakan terorisme, kematian para teroris di tangan regu tembak tidak akan menghentikan munculnya wajah-wajah baru teroris di kemudian hari. Justru yang harus diwaspadai dan diantisipasi adalah pembiakan ideologi terorisme sebagai efek domino dari pembuatan mitos kesyahidan baru di kalangan calon pelaku terorisme. Antar pelaku terorisme memang tidak saling mengenal. Tetapi, mereka disatukan oleh perasaan solidaritas mekanis yang berupa citra kematian syahid di para calon pelaku terorisme.
Fenomena reproduksi para pelaku terorisme mengindikasikan bahwa ideologi radikalisme-terorisme bersifat menular (contagious). Penularan ideologi terorisme tidak selamanya dilakukan secara face-to-face atau melalui interaksi fisik antar pelaku, melainkan juga terjadi secara nonfisik melalui mitos kesyahidan baru. Pembentukan mitos kesyahidan dimulai ketika kematian para teroris mampu membangkitkan kekaguman atau simpati diam-diam (tacit sympathy) di kalangan calon teroris. Ada perasaan iri dengan cara kematian yang dialami para idolanya.
Bagi kalangan yang sudah terinfiltrasi ideologi terorisme, berita kematian para teroris sering kali memiliki efek persuasif sebagai sebuah kematian yang dicitrakan syahid. Citra kesyahidan di kalangan para teroris biasanya dibangun melalui framing tentang gambaran fisik jasad si teroris. Misalnya, sang teroris digambarkan mati dalam keadaan wajah berseri-seri, tersenyum, putih-bersih, dan semacamnya.
Jumlah pengagum para pelaku terorisme mungkin tidak terlalu banyak. Sekalipun demikian, eksistensi mereka sama sekali tidak bisa diremehkan. Alih-alih dalam jumlah puluhan atau bahkan ratusan dan ribuan orang, munculnya seorang saja calon pelaku terorisme harus dipersepsi sebagai ancaman bahaya yang superserius. Dalam konteks ini, negara harus menerapkan kebijakan zero tolerance terhadap potensi munculnya ideologi dan aksi terorisme di tanah air.
Proses identifikasi dan deteksi dini perlu dilakukan, mengingat infiltrasi citra kesyahidan terjadi di kalangan anak-anak kita. Ketika ditanya gurunya di sekolah tentang cita-citanya, salah seorang putra Dita Oeprianto konon pernah mengungkapkan ingin mati syahid (syuhada). Fakta itu mengindikasikan bahwa anak muda menjadi salah satu lapisan sosiologis yang cukup rentan terhadap infiltrasi ideologi radikalisme-terorisme. Mereka mudah terjebak dan terpesona oleh narasi mitologis tentang mati syahid dan kesyahidan.
Untuk mengantisipasi dan menghentikan terciptanya mitos kesyahidan baru di kalangan para calon teroris, tidak ada alternatif lain bagi kita, kecuali melakukan langkahlangkah sebagai berikut. Pertama, pendekatan keras (hard approach) yang dilakukan negara melalui pendekatan keamanan (Densus 88) dan penegakan hukum terhadap para pelaku tindak terorisme harus dilaksanakan secara tandem dengan pendekatan lunak (soft approach). Pendekatan itu dilakukan melalui upaya deteksi dini terhadap potensi munculnya simpati dan dukungan diamdiam di kalangan warga masyarakat terhadap kematian para teroris.
Selain itu, fungsi kepengawasan yang disertai upaya konter ideologis dan deradikalisasi harus mampu dijalankan dengan baik oleh BIN, BNPT, dan lain-lain. Hal itu dapat dimaklumi, mengingat bertemunya ideologi radikalisme-terorisme dengan citra kematian syahid dapat menjadi sebuah ”campuran mematikan” (deadly cocktail) yang bisa menghancurkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.