Jawa Pos

Kerja Sekalian Bawa Misi Budaya

-

TUMBUH di Surabaya tak membuat Soewandi belajar berbahasa Jawa krama sejak kecil. Pria kelahiran 1956 itu mulai tertarik pada budaya Jawa justru saat bekerja paro waktu sebagai penyiar radio pada 1983-an. Radio tempatnya bekerja sering menyiarkan gamelan Jawa. ”Belajar dari gamelan Jawa dan tembang itu mempunyai makna dan arti yang sangat dalam,” ungkapnya. Hal tersebut kemudian menarik Soewandi untuk belajar lebih dalam mengenai budaya Jawa. ”Awalnya, hanya ingin ngomong bahasa Jawa yang pas, ndak harus pinter,” lanjutnya. Soewandi juga merasa pas jika dirinya yang keturunan Jawa Tengah dan Jawa Timur bisa berbahasa Jawa.

Soewandi pun tidak pernah menjalani pendidikan formal soal budaya Jawa. ”Otodidak saja,” jelas bapak dari dua putri itu. Dia menambah ilmu melalui les privat dan literatur yang ada. ”Dulu bolak-balik Solo– Surabaya untuk cari literatur di sana dan belajar dengan orang sana,” kenangnya.

Dia juga belajar di Sanggar Makutho dan menambah literatur di departemen penerangan saat itu. ”Karena sudah biasa bicara di depan umum, jadi tertarik jadi pembawa acara yang juga membawa misi budaya,” tuturnya.

Pernikahan adat Jawa yang kali pertama dipandu Soewandi digelar pada 1988. Sejak saat itu, Soewandi mulai menekuni profesi tersebut hingga sekarang. Berbagi waktu dengan pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil tentu tidak mudah. ”Ya ada waktu di mana hajatan pernikahan­nya dilakukan saat jam kerja. Padahal, saya sudah ada kontrak ya,” ucapnya.

Dia biasanya lebih dulu izin kepada atasannya untuk meninggalk­an kantor sekitar sejam. ”Saya jujur saja kalau memang mau memandu ijab kabul,” tutur pria yang berdomisil­i di Ngagel Tirto itu. Konsekuens­inya, pekerjaan di kantor harus segera dituntaska­n agar bisa ditinggal sebentar.

Kini Soewandi sudah memasuki masa pensiun. Namun, dia masih aktif menjadi pembawa acara pernikahan adat Jawa. Agar kesehatann­ya terjaga, pria berbadan kurus tersebut rutin berolahrag­a tenis dan joging. ”Untuk jaga stamina agar bisa berdiri selama 3 jam setiap acara manten itu kan harus konsisten,” ungkapnya.

Bagi Soewandi, menjadi pambiwara pernikahan adalah misi untuk melestarik­an budaya. ”Kadang orang berpikir tahapannya banyak, njelimet,” ucapnya. Namun, Soewandi merasa tahapan prosesi tersebut seperti perlambang­an harapan dan doa. ”Semua tahapan prosesi itu punya makna yang baik dan dalam. Apa jeleknya jika kita berdoa lebih seperti ini,” jelasnya saat ditemui di rumahnya pada Jumat (22/6). ”Jangan sampai budaya dilaksanak­an dengan terpaksa dan membayar lebih dari kemampuan,” lanjutnya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia