Jawa Pos

Jadi Hasher Kecanduan Nge-Trail

-

Beberapa kali gagal finis, Christine Diansari tidak menyerah. Dia terus berlari. Dari race ke race. Kalau disuruh memilih, alumnus UPN Veteran Jawa Timur tahun 2007 itu lebih memilih trail run daripada road run.

MAK Tin –sapaan Christine Diansari– melepas virgin marathon di race Bali Marathon 2017. Catatan waktunya memang masih mendekati cut-off time (CoT). Lebih dari 6 jam 30 menit. Itu pun dituntaska­n dengan perjuangan yang tidak mudah.

’’Kalau disuruh trail atau road, aku milih trail. Aku sudah ampun sama lari road,” ungkapnya, lantas tertawa. ’’Cukup di Bali itu saja,’’ sambungnya.

Kebanyakan pelari memang merasa belum afdal bila belum menuntaska­n

race full-marathon. Bali Marathon dia pilih karena merupakan salah satu race yang paling populer di Indonesia. Karena waktunya mepet, Mak Tin kurang maksimal dalam mempersiap­kan diri. ’’Aku lari road nggak pernah jarak sejauh itu. Kakiku malah sakit,’’ imbuhnya.

Sejak masa sekolah, Mak Tin senang berolahrag­a. Namun, dia lama tidak berolahrag­a setelah bekerja. Baru 2015 dia menekuni lari. ’’Aku punya teman yang ikut komunitas lari. Awalnya sempat berpikir, masak aku cuma kerja aja dan

nggak olahraga. Nanti kalau aku sakit

gimana. Ya sudah, mulai ikut gabung dan rutin sampai sekarang,” katanya.

Event lari Run to Give di Surabaya menjadi race pertama Mak Tin. Mengambil kategori 5K, dia berhasil finis dalam waktu 35 menit. Mak Tin kemudian mewajibkan dirinya ikut

race tersebut setiap tahun. Hitunghitu­ng memperinga­ti race pertama.

Setahun kemudian, seorang teman mengajakny­a bergabung ke komunitas Hash House Harries Surabaya. Sejak saat itu, Mak Tin resmi menjadi hasher. May Trail Run 12K merupakan race trail pertamanya. Dia finis dalam waktu kurang lebih 3 jam. ’’Itu pun sambil nyasar. Kalau nggak nyasar, bukan trail run namanya,” candanya.

Karena nyasar pula, Mak Tin harus merelakan race Coast to Coast-nya di Jogjakarta pada 2017 lalu. Saat itu dia mengikuti kategori 50K. Padahal, dia sudah mempersiap­kan diri selama tiga bulan. Jika ditotal, Mak Tin memperkira­kan jarak yang dia tempuh saat itu mencapai 60 km. Padahal, garis finis sudah di depan mata. Karena treknya di pantai dan berpasir, langkah Mak Tin untuk mengejar waktu semakin berat. ’’Aku tetap finis, tapi 10 menit dari cut-off time. Harusnya finis di Pantai Depok, aku malah sampai Pantai Parangtrit­is. Mangkel, iya. Tapi, ya sudahlah buat pengalaman,” imbuhnya.

Beberapa kali gagal, Mak Tin semakin tahu seberapa jauh batasan dalam dirinya. Sama dengan ketika dia harus rela mundur dari race BTS 100 Ultra November 2017 lalu. Saat di Km 10, Mak Tin jatuh terperosok. Dia sempat memaksakan diri dan akhirnya bisa sampai di Ranukumbol­o. Tapi, karena kondisinya tidak memungkink­an, dia memutuskan berhenti. ’’Push your limit itu memang perlu. Tapi, know your limit juga harus. Karena nggak mau jadi lebih parah,” ungkapnya saat ditemui di sela-sela latihan di Lapangan Thor, Surabaya.

Setelah mendapat cedera engkel itu, Mak Tin vakum lari selama tiga bulan. Februari lalu, dia mulai latihan lari lagi. Kini, meski belum sepenuhnya normal, Mak Tin bersiap menatap race selanjutny­a. ’’Habis Lebaran ini mulai jalan program latihannya. Ini sudah nazarku dari tahun kemarin. Tahun ini harus bisa lari 100 km,” tuturnya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia