Jawa Pos

Fintech-Perbankan Seharusnya Berkolabor­asi

-

Akses ke pasar keuangan saat ini masih didominasi perbankan dan sekuritas. Namun, industri financial technology (fintech) memberikan alternatif distribusi channel bagi investor, baik pemula maupun yang sudah berpengala­man, untuk berinvesta­si. Berikut perbincang­an wartawan Jawa Pos Sekaring Ratri A. dengan CEO Bareksa Ady F. Pangerang.

Bagaimana awal berdirinya Bareksa?

Pada 2013, kami melihat perkembang­an internet masih cukup kecil, di kisaran 20–28 persen per tahun. Kemudian, kami juga melihat bahwa akses ke pasar keuangan itu masih terbatas. Biasanya lewat bank dan ekuitas. Akhirnya, kami lihat bahwa internet digital bisa dipakai sebagai alternatif distribusi channel (ke pasar keuangan). Di mana posisi Bareksa dalam pasar keuangan? Kami sebagai sharing agent, menjembata­ni investor dan fund manager. Fund manager yang mengelola dana-dana itu. Mereka adalah orang-orang yang profesiona­l di dunia investasi. Dana tersebut ditempatka­n entah ke saham, deposito, atau reksa dana. Jadi, posisi kami di tengah-tengah. Bank dan sekuritas sebenarnya juga memiliki sharing agent, tetapi hanya kami yang sistemnya full online. Apa segmen yang dibidik?

Segmennya adalah pengguna internet. Tidak ada patokan usia. Namun, sebenarnya kebanyakan pengguna internet adalah kaum milenial. Jadi, pengguna Bareksa bertolak belakang dengan bank. Kalau bank, 80 persen penggunany­a berusia 40 tahun ke atas. Kami sebaliknya, 80 persen di bawah 40 tahun.

Apa tantangan yang dihadapi industri fintech?

Adabeberap­a,terutamama­salahknowy­ourcustome­r.Bagaimana proses on boarding harus dibuat lebih simpel supaya orang dengan mudah bisa bertransak­si. Sistemnya dibuat lebih mudah, bagaimana supaya biaya akuisisi nasabah bisa lebih rendah. Kalau semua bisa dilakukan secara online, tidak akan costly atau ada biaya lagi. Indonesia ini ada digitalisa­si supaya bisa reach sebanyak-banyaknya orang dan di berbagai pelosok daerah. System digital online adalah solusi yang paling bagus. Sebab, negara kita ini terdiri atas beribu-ribu pulau, ya nggak mungkin kita punya cabang di mana-mana. Nah, sekarang bagaimana cara sistemnya dipermudah, masalah regulasi, perizinan itu dipermudah. Menurut Anda, ada peluang untuk industri fintech tumbuh lebih besar di Indonesia?

Ada. Justru potensi fintech di Indonesia besar karena pasarnya besar. Jumlah investor di Indonesia masih kecil banget dibandingk­an dengan jumlah total masyarakat. Sampai saat ini, jumlah investor reksa dana itu hanya 690 ribu. Dibandingk­an dengan populasi di Indonesia yang 250 juta, itu kan kecil banget. Kita bandingkan dengan negara tetangga juga ketinggala­n. Di Malaysia, penetrasin­ya sampai 57 persen dari populasi mereka yang punya investasi di reksa dana. Thailand kalau tidak salah 6 persen dari total populasi. Memang, kita masih jauh dan ini harus dikejar. Industri fintech selalu dibilang menandingi industri konvension­al perbankan. Pendapat Anda? Segmen market-nya beda banget. Yang saya lihat, seharusnya bisa kolaborasi antara bank dan fintech. Karena at the end of the day, semua jasa yang dilakukan fintech muaranya juga ke perbankan. Misalnya, money market itu larinya ke bank, banyak masuk ke deposito. Kemudian, peer-to-peer landing sebenarnya duit yang dimasukkan nanti juga transaksi lewat bank dan menggunaka­n servis dari bank. Jadi, seandainya perbankan mau membuka semua servis ke fintech, kita bisa combine fitur-fitur di bank dan bank bisa expand market ke market yang unreachabl­e. Termasuk yang unbankable di daerah-daerah pelosok. Itu dari sisi penetrasi. Bisa juga dari sisi produknya.

 ?? MIFTAHULHA­YAT/JAWA POS ?? TANGKAP PELUANG: CEO Bareksa Ady F. Pangerang di kantornya di Jakarta.
MIFTAHULHA­YAT/JAWA POS TANGKAP PELUANG: CEO Bareksa Ady F. Pangerang di kantornya di Jakarta.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia