Armada Pelayaran Rakyat Menerjang Asa
Pada pertengahan Juni ini, terjadi dua kecelakaan kapal yang menelan korban cukup banyak. Menjelang Idul Fitri, Kapal Motor (KM) Arista jenis joloro, angkutan tradisional masyarakat pesisir di Sulsel, tenggelam di Selat Makassar dengan membawa puluhan penumpang (tanpa manifes). Sebanyak 35 penumpang bisa dievakuasi, 13 tewas, dan sisanya belum ditemukan.
Sepekan kemudian, kecelakaan kapal tradisional terjadi di Sumatera Utara. KM Sinar Bangun tenggelam di Danau Toba dengan korban tak kalah banyak. Lagi-lagi tanpa manifes.
Ujung-ujungnya, setelah kecelakaan, pemilik kapal dan masyarakat yang disalahkan. Padahal, sejujurnya di setiap pelabuhan, ada otoritas yang berwenang mengeluarkan izin berlayar dan memeriksa kelayakan kapal.
Sungguh mengenaskan di tengah gencarnya pemerintah mempromosikan program tol laut dalam visi poros maritim dunia yang dideklarasikan dalam Nawacita Kabinet Kerja, kelalaian keselamatan penumpang kapal menjadi momok dan terabaikan. Dua kapal motor tersebut adalah armada kapal rakyat tradisional di bawah 500 GT yang merupakan bagian dari subsistem Angkutan Laut Nasional (UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran).
Pelayaran rakyat (pelra) adalah usaha jasa transportasi dagang yang menggunakan armada tradisional (kayu) dengan memakai alat penggerak (mesin dan layar) atau disebut perahu layar motor (PLM) dan kapal layar motor (KLM). Dalam Peraturan Pemerintah No 20 Tahun 2010 dan Permenhub No 93 Tahun 2013 tentang Pelra disebutkan, KLM mempunyai bobot sampai dengan 500 gross tonnage
(GT) dan kapal motor (KM) berbobot 7 GT hingga 35 GT.
Faktor keselamatan memang menjadi kendala utama bagi armada pelra. Banyak pemicunya. Antara lain, tidak semua kru kapal mengantongi sertifikat basic safety training
(BST) yang wajib dimiliki ABK, mulai tapusere atau penarik layar, pakolong juru masak, mualim, hingga nakhoda atau juru mudi.
Armada pelra yang jumlahnya sekitar 15 ribu unit mengandalkan kapal kayu itu. Apa hendak dikata, memang diragukan keselamatannya karena tidak memperoleh jaminan dari lembaga klasifikasi.
Sementara itu, industri asuransi juga enggan menjamin pelra. Ribuan awak kapalnya, walaupun sarat pengalaman melaut, umumnya tidak memiliki sertifikat dasar keselamatan. Mereka tidak bisa mengikuti pelatihan basic safety training karena terkendala pendidikan yang rata-rata hanya lulus sekolah dasar itu. Aturan menyebutkan minimal harus mempunyai ijazah SMP dan sederajat.
Pemerintah rasanya tidak pernah hadir untuk mencari solusi dan memfasilitasi permasalahan tersebut. Juga tidak ada regulasi permanen yang mendukung pengoperasian pelra yang sudah kesulitan bahan baku kayu itu. Permasalahan lain adalah modal terbatas karena minimnya akses untuk memperoleh fasilitas pinjaman bank.
Anak Tiri
Melihat kelengkapan keselamatan armada pelayaran rakyat (pelra) pada umumnya, terlalu jauh rasanya jika kita berbicara konvensi internasional untuk keselamatan jiwa di laut atau safety of life at sea (SOLAS), ketentuan keselamatan pelayaran sesuai aturan hukum pelayaran internasional (IMO), yang mutlak harus diberlakukan pada semua armada. Jadi, jangan heran jika armada pelra minim kelengkapan sekoci maupun jaket pelampung sebagai sarana utama keselamatan pelayaran. Kalaupun toh ada, sekadar untuk menyiasati aturan.
Kondisi pelayaran rakyat secara umum bagai hidup segan mati tak mau. Perannya yang penting dalam perdagangan antarpulau mengalami degradasi di tengah gempita program tol laut. Pamornya kalah oleh kapal modern maupun kapal perintis. Meski lahir lebih dahulu, boleh dikata armada pelra ibarat anak tiri jika dibandingkan dengan generasi kapal kontainer, kapal penumpang antarpulau, maupun kapal perintis. Bahkan, fasilitasnya boleh dikata minim sekali, berbeda misalnya dengan bantuan kapal nelayan yang setiap tahun digerojok atau dibangunkan pelabuhan khusus perikanan yang dilengkapi fasilitas tempat pelelangan ikan atau cold storage.
Kontainerisasi dan perkembangan IT telah mengubah pasar angkutan laut antarpulau. Sementara itu, industri pelayaran rakyat lamban menyikapi perubahan tersebut. Salah satu opsi pengembangan pelayaran rakyat adalah mendukung pariwisata sebagai sektor yang tumbuh pesat dengan kontribusi ekonomi dan lapangan kerja yang semakin besar.
Keselamatan armada pelra yang mengandalkan kapal kayu diragukan karena tidak memperoleh jaminan dari lembaga klasifikasi. Industri asuransi juga enggan menjamin angkutan laut pelra. Jumlah fasilitas docking kapal kayu bisa dihitung jari. Umumnya kapal rakyat diperbaiki di Pati, Jateng; Pasuruan dan Probolinggo, Jatim; atau Pasir Mayang, Kaltim, dengan fasilitas minim dan tradisional.
Di Jatim, misalnya. Provinsi itu memperoleh keuntungan Rp 100 triliun pada 2017 melalui perdagangan antarpulau. Tetapi, porsi jasa angkutan laut oleh pelayaran rakyat sangat minim. Sistem informasi perdagangan antarpulau (SIPAP) yang dikembangkan Pemprov Jatim tidak melibatkan peran pelra.
Industri pelra yang menyediakan kapal-kapal rakyat membutuhkan modernisasi agar memenuhi standar keamanan dan keselamatan. Hambatan perizinan pada industri galangan kapal perlu segera dicarikan solusinya. Tidak mudah memang merealisasikan docking kapal khusus armada pelra. Pemprov Jatim sudah menerbitkan Pergub No 31 Tahun 2016 tentang Rencana Aksi Pembangunan Kelautan Jatim. Salah satu diktumnya memfasilitasi docking kapal kayu yang representatif. Namun, realisasinya belum tampak.