Netralitas Harga Diskon?
SLOGAN ”harga mati” makin digemari. Setelah untuk NKRI, kini Polri memakainya untuk konteks netralitas aparatnya. Netralitas Polri harga mati. Tentu saja membuat slogan tak semudah merealisasikannya. Malah ada kesan netralitas itu ”harga diskon”, masih bisa ditawar demi order kekuasaan. Padahal, netralitas itulah yang akan sangat menentukan kualitas demokrasi, termasuk dalam pilkada serentak besok (27/6).
Presiden Ke-6 RI SBY tentu tak asal bicara ketika mempertanyakan netralitas aparat. Sebelum pilkada, SBY punya pengalaman tak terlupakan. Yakni saat putranya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), menjadi kandidat di pilgub DKI tahun lalu. Pasangan AHY, Sylviana Murni, diusik kepolisian, atas dugaan korupsi dana pembangunan masjid. Suami Sylviana juga diikut-ikutkan dalam perkara sensitif tersebut. Eh, setelah AHY-Sylvi hanya di urutan ketiga, tak lolos putaran final, kelanjutan kasusnya tak jelas.
Banyak gejala lain untuk meragukan sikap netral itu. Di era rezim ini imparsialitas aparat hukum yang di bawah kendali pemerintah memang tak terlihat moncer.
Terlebih, ada indikasi ketidaknetralan beberapa pimpinan polda, sebagaimana disebut Indonesia Police Watch (IPW), yang dilakukan Kapolda Sumut, Wakapolda Maluku, serta Wakapolda Riau. Pencopotan atas Wakapolda Maluku patut diapresiasi, tapi jelas itu tidak cukup. Sebab, di sisi lain, pemerintah justru menimbulkan situasi panas. Misalnya dalam penunjukan penjabat gubernur Jawa Barat yang dari jenderal polisi aktif.
Kita masih bisa mengakses video pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini. ”Jangan sampai karena pilkada, entah pemilihan gubernur, pemilihan bupati, pemilihan wali kota, kita menjadi tidak rukun dengan tetangga. Jangan!” seru Jokowi. Kata ”jangan!” itu juga diulanginya untuk tak rukun antarkampung, antaragama, apalagi antarsuku. Jokowi sampai memekik ketika bilang ”jangan” itu.
Herannya, mengapa pemerintah membuat keputusan yang tidak sejalan dengan pidato kerukunan tersebut? Malah mendemonstrasikan kekuasaan yang jelas bikin gaduh. Gaduh hanyalah kata lain dari situasi heboh karena kita menjadi tidak rukun. Ribut, karena ada akal sehat dan keadilan yang diabaikan.
Kita memang harus terus mencermati. Agar demokrasi kita yang dilahirkan dari penumbangan rezim otoriter tak dibajak kepentingan politik rezim sesaat. Retorika akan gampang dicek dengan perilaku nyata. Apakah itu retorika negarawan (”demi Pancasila dan NKRI harga mati”) atau hanya gaya bicara pemburu nikmat kekuasaan biasa. Ayo, kita amalkan ”Saya Indonesia, Saya Pancasila” di pilkada dengan tidak licik, tidak curang!