Hidangan Prancis dan Anggur yang Masih Muda
DARMANTO
Penulis Buku Tamasya Bola
MELIHAT materi Les Bleus, kita seperti memasuki dapur restoran Prancis. Bahan-bahan dasar makanannya segar dan berkualitas. Hampir semua bahan itu hasil kebun pembibitan Clairefountain yang terkenal menghasilkan pemain bola pilih-tanding karena hawanya sejuk dengan tukangtukang rawat yang hebat.
Kultivarnya dari mana? Jangan ditanya. Prancis dibekali bibit unggulan dari seluruh penjuru dunia. Pogba dari Guyana. Mbappe hasil persilangan Kamerun dan Aljazair. Griezmann punya darah Jerman dan Portugal. Lorris asli Mediterania. Alphonse Areola adalah orang Filipina. Pokoknya, hampir semua pemain Prancis adalah hasil serbuk-silang alamiah gengen terbaik dari segala bangsa.
Mereka juga punya koki sarat pengalaman. Didier Deschamp belajar dan magang langsung dari masterchef kelas dunia. Tak main-main, bos-bosnya adalah pemenang trofi Jules Rimet dan Liga Champions. Di Marseille, dia diasuh Franz Beckenbauer. Di Juventus, dia belajar dari Marcelo Lippi. Di timnas, dia adalah kaptennya Aime Jacquet.
Sebagai koki utama, prestasi Deschamp juga tidak semenjana. Dia sukses memenangi kompetisi Bintang Michelin beberapa kali bersama Monaco dan Marseille.
Dengan bahan dasar beragam dan berkualitas, chef yang mumpuni, serta tradisi sepak bola yang panjang, Prancis punya segalanya untuk menghadirkan hidangan klasik haute cuisine, mewah sekaligus nikmat. Namun, yang hadir di atas meja justru masakan yang tidak menggugah selera. Kenapa?
**** Masakan Prancis umumnya sederhana. Kualitasnya ditentukan bahan-bahannya. Mereka membenci bumbu yang berlebihan atau saus instan. Teman kuliah Prancis saya selalu terpana dengan orang Inggris yang senantiasa menuangkan ketchup di atas fish-and-chipsnya. Dia juga tak habis mengerti mengapa orang Indonesia selalu mencari sambal botolan ketika makan di restoran.
Orang Prancis berpendapat, masakan yang enak dimasak dengan bumbu dan saus sederhana, yang mengeluarkan dan menguatkan rasa bahan utama. Mereka sulit menerima ikan segar di atas bara yang diolesi mentega dan rempah ulekan. ’’Bumbu berlebihan akan menghilangkan sensasi, tekstur, dan keunikan rasa bahan dasar,’’ begitu teman itu menjelaskan.
Karena itu, hidangan khas Prancis terkadang disajikan setengah matang dengan percikan saus seadanya. Kita diajak bertualang, menikmati keaslian dan kesegaran cita rasa bahan-bahan pokoknya. Tak ada kecap, sambal, atau cuka. Paling banter ya garam dan lada.
Racikan Deschamp mengikuti pakem klasik French cuisine ini. Dia tidak memperumit komposisi masakan. Atau, menambahkan bumbu yang berlebihan. Menunya baku dan standar 4-3-3 yang ketika gagal berubah menjadi 4-2-3-1.
Di belakang, kita bisa merasakan simpelnya selera Deschamp. Bekbeknya tidak terlalu bernafsu menyerang dan terobsesi dengan penguasaan bola. Dia bahkan dianggap konservatif dengan memasang Benjamin Pavard yang cenderung bertahan.
Di tengah, pola komposisi Prancis sederhana. Kante berfungsi sebagai perebut bola, Pogba mendistribu- sikannya. Sementara itu, Tolisso atau Matuidi bermain sebagai positional player yang menjaga rasa permainan tetap seimbang.
Di depan, Deschamp membiarkan kualitas bahan yang bicara. Mbappe, Griezmann, dan Dembele dibebaskan masuk ke mulut lawan dengan mengikuti insting alamiah mereka. Jika terlalu tawar, kekuatan Giroud masuk untuk memberikan tekanan pada lambung lawan.
Deschamp juga mengikuti ritme dan struktur gastronomi Prancis. Permainan pendek dari Lorris ke Umtiti atau ke Lucas Hernandes seperti hidangan pembuka (entrée). Umpan-umpan kecil di belakang itu seperti sup atau foi grass. Ringan dan menaikkan selera.
Lalu, kombinasi vitalitas Kante dan kreativitas Pogba adalah plat principal atawa hidangan utama. Umpan melebar ke sayap, permutasi posisi, dan kombinasi imajinasi Pogba-Griezmann-Tolisso seperti bouillabaisse (ikan kuah) atau pot-au-feu (sup daging sapi). Hangat, kaya rasa, dan benarbenar memanjakan selera.
Di depan, sentuhan akhir Mbappe atau Giroud adalah fromage (keju dan hidangan penutup). Sederhana, gurih-manis, dan menyempurnakan sajian. Sesekali, muncul kecemerlangan Dembele. Seperti salad yang diperciki vinnegar. Segar dan mengembalikan kesegaran organ dalam.
Meski Deschamp meracik hidangan mengikuti tradisi kuliner klasik, kenapa hidangan Prancis terasa hambar di mata?
******
Aha, yang kurang dari racikan Deschamp pastilah anggurnya. Hidangan Prancis tak pakai banyak garam. Anggur bukan bahan dasar atau saus utama dalam komposisi French cuisine. Namun, ia sangat penting. Tanpanya, masakan Prancis tidak terasa hidangan Prancis.
Ia ibarat garam dalam hidangan Indonesia. Semua masakan enak hasil sentuhan koki paling hebat akan mendapat cibiran bila komposisi dan takaran anggurnya kurang atau berlebihan.
Sebagai pelengkap, anggur membuat seluruh bahan dan bumbu menyatu dengan sempurna. Sebagai minuman, anggur adalah bagian integral dari struktur dan kultur kuliner Pran- 26 JUNI cis. Minuman itu dicicipi sebelum makan, diteguk pelan-pelan di sela-sela suapan, dan diminum usai perjamuan.
Nah, anggur terbaik adalah anggur yang berumur. Ia butuh waktu dan fermentasi yang sempurna. Sementara, anggur Prancis di Russia ini masih sangat muda. Miskin pengalaman.
Pengalaman adalah anggur tua yang membuat aroma bakat alam Prancis keluar dan membuat racikan taktik berjalan mulus. Ia bisa membuat aliran bola dicecap pancaindra dengan lezat dan mengalirkan perasaan nikmat. Seperti anggur tua, pengalaman memang tidak menentukan kemenangan. Tapi, tanpa pengalaman, sebuah tim akan sulit bermain secara konsisten dan anak-anak muda mudah keder menghadapi tekanan.
Anggur yang masih muda membuat bahan-bahan terbaik dan saus lezat Prancis belum bercampur dengan sempurna. Itu membuat hidangan yang dimasak Deschamp, meminjam ungkapan orang-orang tua kita, terasa hambar dan tidak terasa asam-garamnya.