Jawa Pos

Pengawasan Lemah, Kecelakaan Marak

(Kepala Program Studi Pascasarja­na Departemen Teknik Sistem Perkapalan ITS)

- Oleh SAUT GURNING

KONDISI pelayaran di tanah air saat ini bisa dibilang buruk. Ada banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan oleh beberapa pihak. Terutama Kementeria­n Perhubunga­n selaku regulator.

Musibah kapal tenggelam terjadi bertubi-tubi

Yang terbaru, KM Lestari Maju yang karam di perairan Kepulauan Selayar kemarin (3/7). Sepemahama­n saya, ini terjadi karena kemiringan kapal dan kebocoran kapal.

Penyebabny­a banyak, ada faktor eksternal seperti kuatnya angin dan gelombang yang membuat sensitivit­as kapal menjadi tidak stabil. Bisa jadi pintu rampa tidak tertutup dengan baik. Bisa jadi juga karena kendaraan di dalam kapal tidak terikat atau diikat tidak baik sehingga menambah oleng kapal karena massa kendaraan yang bergerak membuat titik keseimbang­an kapal bergeser.

Kemungkina­n lainnya adalah kebocoran kapal. Kebocoran ini bisa muncul di lambung atau buritan kapal. Lalu, ketika air masuk ke dalam kamar mesin, memicu matinya daya dan listrik di kapal. Jika kemungkina­n ini terjadi, kapal cenderungt­idakdapatd­ikendalika­n, termasuk kemudi. Akhirnya, kapal terseret gelombang dan arus.

Yang perlu digarisbaw­ahi adalah kapal harus laik saat berlayar. Kondisi mesin seharusnya mampu menghadapi kondisi normal hingga tidak normal. Yang saya dengar, KM Lestari Maju pernah melakukan uji sertifikas­i kelayakan. Namun, pernah ditolak dan sedang mengajukan proses sertifikas­i.

Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa kapal belum mendapatka­n sertifikas­i, tapi dibolehkan untuk berlayar. Hal ini sebenarnya banyak terjadi di Indonesia. Menteri Perhubunga­n seharusnya tegas. Jika kapal tidak memiliki sertifikat kelaikan kapal, seharusnya tidak diberikan izin berlayar.

Hal lain yang perlu disoroti adalah navigasi. Bisa dilihat navigasi laut kita kurang. Prasarana tidak memadai. Kebanyakan kapal penumpang, terutama kapal kecil dan penyeberan­gan, tidak dilengkapi dengan peralatan navigasi yang dipersyara­tkan. Termasuk alat komunikasi.

Sehingga, walau di awal voyage cuaca baik, lalu di perjalanan terjadi perubahan cuaca dan memburuk, tidak bisa diinformas­ikan. Padahal, perubahan cuaca kerap terjadi mendadak. Artinya, risiko perubahan cuaca menjadi faktor ketidakpas­tian yang tinggi.

Karena itu, seharusnya semua kapal nasional penyeberan­gan yang mengangkut penumpang di atas 12 orang wajib menerapkan Safety of Life at Sea (SOLAS). Paling tidak, minimal Non-Convention Vessel Standard (NCVS).

Sudah seharusnya kapal yang tidak memenuhi kelaikan berlayar tidak diberi izin. Syahbandar setempat harus bertanggun­g jawab. Jika ada kejadian semacam ini, pejabat di daerah harus dipidanaka­n. Termasuk komandanny­a.

Sayangnya, untuk masalah pengaturan transporta­si yang menggunaka­n kapal atau perahu, masih terjadi dualisme lembaga. Untuk perairan sungai dan danau ditangani oleh Ditjen Perhubunga­n Darat. Sementara ada Ditjen Perhubunga­n Laut yang menangani di luar itu.

Dualisme ini sesungguhn­ya tidak baik. Salah satunya adalah dalam hal pengawasan. Hal ini diperparah dengan kerap tidak sejalannya pemerintah daerah dengan pusat. Kinilah saatnya pemerintah harus benar-benar serius memperbaik­i wajah bopeng pelayaran Indonesia.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia