Jawa Pos

Rekonsilia­si NU Jatim Pascapilka­da

- MUNDZAR FAHMAN *

PEMILIHAN gubernur Jatim yang hanya diikuti Khofifah Indar Parawansa-Emil Elestianto Dardak dan Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno merupakan berkah sekaligus musibah bagi Nahdlatul Ulama (NU). Menjadi berkah karena dua calon gubernur tersebut samasama orang NU. Karena itu, siapa pun pemenangny­a, pastilah yang menang adalah orang NU.

Tetapi, celakanya, berhadapha­dapannya Khofifah vs Gus Ipul dalam pilgub lalu membuat para kiai NU dan warga nahdliyin terbelah. Banyak kiai NU, baik di struktural maupun kultural, yang secara tegas hanya mau mendukung Gus Ipul. Bahkan, menurut mereka, dukungan kepada Gus Ipul merupakan hasil istikharah.

Sebaliknya, tidak sedikit kiai NU yang secara tegas mendukung Khofifah. Salah satu slogan mereka itu:

Wis wayahe (sudah waktunya). Artinya, menurut mereka, sudah saatnya Khofifah memimpin Jatim.

Sikap kiai yang terbelah tersebut kemudian menjalar ke bawah. Warga nahdliyin di akar rumput (grassroot) juga terbelah. Sebagian mendukung Gus Ipul dengan alasan mereka

sami’na wa atha’na (mendengar dan taat) pada dawuh para kiai pendukung Gus Ipul. Tetapi, sebagian yang lain menyatakan mendukung Khofifah. Alasan mereka juga sami’na wa atha’na pada fatwa kiai pendukung Khofifah.

Nah, suasana batin kiai NU dan nahdliyin yang terbelah tersebut, menurut saya, tidak boleh dibiarkan begitu saja. Perlu ada upaya-upaya dari NU selaku organisasi untuk menyatukan mereka kembali. Jangan biarkan antarkubu saling curiga, saling olok, dan saling hujat. Perlu dilakukan rekonsilia­si di tubuh NU. Jika dibiarkan, tentu kondisi seperti itu akan merusak ukhuwah nahdliyah (persaudara­an di antara warga NU), merusak keutuhan jam’iyyah (organisasi). Dampaknya, organisasi tidak satu visi, tidak kompak, sehingga berjalan pincang.

Suasana batin yang tidak kompak seperti itu, saya yakin, tidak hanya terjadi di Jatim. Tetapi juga di daerahdaer­ah lain yang melangsung­kan pilkada, yang calon-calonnya dari kalangan NU. Saling curiga, dapat apa dan berapa dari calon, akan terus merasuki batin antarkubu. Itu tentu sangat merugikan jam’iyyah NU karena adanya suudhon (buruk sangka) satu sama lain.

Jika dicermati sedikit, munculnya dua kubu kiai dalam pilgub Jatim lalu merupakan kelanjutan luka lama dari Muktamar Ke-33 NU di Jombang, Agustus 2015. Luka lama yang belum terobati dan dibiarkan menganga. Kubu KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) dan para pendukungn­ya serta kubu KH Said Agil Siroj dengan para pendukungn­ya.

Dalam muktamar yang banyak diwarnai protes dan kericuhan tersebut, akhirnya Kiai Said terpilih menjadi ketua umum PB NU. Hingga kini, kubu Gus Sholah tidak mengakui keabsahan hasil muktamar tersebut. Dalam pilgub Jatim lalu, Gus Sholah dan kawan-kawan getol mendukung Khofifah. Sebaliknya, banyak kiai NU struktural (pengurus NU) yang mendukung Gus Ipul.

Karena adanya suasana batin di tubuh NU seperti itu selama ini, menurut saya, sangat perlu dilakukan langkah-langkah untuk mengobatin­ya. Salah satunya melalui rekonsilia­si. Rekonsilia­si merupakan upaya memulihkan hubungan persahabat­an ke keadaan semula. Atau, upaya menyelesai­kan perbedaan (KBBI, hal 942). Melalui rekonsilia­si, jurang perbedaan pandangan antarkubu NU sebagai ekses pilkada atau luka lama dari Muktamar Jombang 2015 bisa diselesaik­an dan diobati.

Setahu saya, PB NU selama ini belum pernah mencoba melakukan langkah-langkah rekonsilia­si pascaMukta­mar Ke-30 NU. Belum ada upaya untuk islah. Tokoh-tokoh NU yang berseberan­gan dengan Kiai Said seolah dibiarkan begitu saja dengan pikiran-pikiran mereka. Belum ada upaya untuk mengobati luka mereka. Juga, belum ada upaya merangkul mereka untuk kemudian bersama-sama menata NU ke arah yang lebih baik.

Rekonsilia­si untuk mengobati luka dari muktamar, ataupun rekonsilia­si untuk menghilang­kan kubu-kubuan pascapilka­da serentak, menurut saya, sangat perlu dilakukan NU. Apalagi, tahun ini hingga tahun depan adalah tahun politik. Pada 2019 ada pemilihan presiden dan wakil presiden serta pemilihan anggota DPR, DPD, serta DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. NU akan rugi sendiri jika pada tahun politik ini suasana batin pengurus serta warganya masih terkoyak-koyak. Dalam kondisi batin terkoyak, sangat mungkin harga jual politik NU juga menjadi tidak mahal.

Rekonsilia­si untuk mengobati luka pascamukta­mar 2015 tidak harus dilakukan dalam satu paket kegiatan dengan rekonsilia­si pascapilka­da. Dua rekonsilia­si tersebut bisa dipisahkan. Inisiatif rekonsilia­si pascamukta­mar hendaknya datang dari PB NU.

Kiai-kiai sepuh yang selama ini dikenal moderat, netral, dan lebih bisa diterima semua kubu perlu dilibatkan. Misalnya, Gus Mus (KH Mustofa Bisri). Rekonsilia­si dengan saling memaafkan, mengobati luka lama, dan menyamakan pandangan demi kepentinga­n organisasi yang lebih besar.

Sementara itu, untuk rekonsilia­si guna mengobati luka pascapilka­da, khususnya di Jatim, inisiatif sebaiknya datang dari gubernur terpilih: Khofifah. Dengan pertimbang­an, sebagai gubernur (nanti), Khofifah tentu membutuhka­n suasana yang kondusif. Jika warga nahdliyin di Jatim kondusif, itu berarti separo warga di provinsi ini juga kondusif.

*) Mantan ketua Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bojonegoro

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia