Jawa Pos

Si Cerdik yang Dulu Sederhana

- Oleh FATHUR ROZI Wartawan Jawa Pos

SAYA kaget. Tiba-tiba saja

Irwandi Yusuf memanggil. ”Mas, Mas, sini. Anda dari mana?” ujarnya. Keras-keras. Jarinya membidik wajah saya. Di antara kerumunan wartawan asing dan lokal di atas panggung kampanye Lapangan Blang Padang, Banda Aceh, Rabu, 6 Desember 2006

Saat itu Irwandi masih bertarung sebagai calon gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sebagai mantan petinggi GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Berpasanga­n dengan cawagub Muhammad Nazar, petinggi SIRA (Sentral Informasi Referendum Aceh).

Saya sendiri waktu itu sedang terpesona oleh merdunya suara penyanyi etnik Rafly Kande. Irwandi bersikeras memanggil. Mendekatka­n wajahnya. ”Tulis ya. Ini sungguhan. Tulis. Saya pasti menang, 70 persen,” ucap lelaki kelahiran Bireuen, 2 Agustus 1960, itu. Matanya terlihat bersemanga­t saat saya menyebut nama Jawa Pos. Liputan dari Surabaya dan Jakarta.

Kesan saya buruk. Pesimistis. Mana mungkin? Orang ini takabur. Jangankan menghimpun suara sampai 70 persen. Menang saja pasti sangat-sangat sulit. Jelas saya masih menggunaka­n logika politikus Jakarta. Ala politik lumrah. Partai pengusung terkuat pasti memenangi pilkada.

Pemilihan Gubernur NAD 2006 itu pilkada langsung pertama di Indonesia. Pasangan IrwandiNaz­ar maju lewat jalur independen. Mungkin harus susah payah mengumpulk­an syarat minimal dukungan: 126 ribu KTP.

Lawannya? Calon-calon koalisi partai besar. Golkar-PDIP-PD-PKPI mengusung pasangan dengan modal suara hasil Pileg 2004 sebanyak 600 ribu lebih. PAN-PKS bermodal suara lebih dari 450 ribu. PPP mengusung calon sendiri dengan modal 304 ribu lebih suara.

Total ada delapan pasangan calon yang bertarung saat itu. Ada mantan Pangdam. Ada mantan penjabat gubernur. Tiga di antaranya calon independen. Irwandi-Nazar dan dua pasang calon lain. Untuk ukuran mesin partai dan dukungan ”gizi” politik, sosok Irwandi, rasanya, mustahil menang. Saya abaikan saja omong bombastisn­ya. Soal 70 persen suara itu.

Sekitar sepekan saya habiskan waktu untuk masuk pelosok Aceh Besar dan Aceh Selatan. Hampir setiap orang yang saya tanya tidak tahu siapa-siapa calon gubernur baru mereka. Tidak sampai sebut nama. Semua sudah menggeleng. Bagaimanam­enakarduku­ngankalau seperti itu? Kenal calon saja tidak.

Sepanjang perjalanan terus mikir. Beberapa kali mobil yang saya kendarai mengerem dadakan. Dalam-dalam. Nyaris menabrak gajah. Ada induk gajah dan bledug (anak gajah) tiba-tiba muncul dari hutan. Menyeberan­g santai. Sampai beberapa hari menjelang coblosan pada 11 Desember 2006, barulah ketemu satu pertanyaan kunci. Berkat poster.

Tujuh pasangan cagub-cawagub lain mengenakan pakaian nasional. Jas dan peci. Kopiah-baju takwa. Cuma Irwandi-Nazar yang mengenakan pakaian berbeda di surat suara. Mereka berbusana adat Aceh. Lengkap dengan kopiah meukeutop-nya. ”Kalau nanti coblosan, pilih calon yang pakai baju Aceh atau baju lain?” Itu saja pertanyaan saya. Semuanya menjawab tegas. Pasti pilih yang berbaju Aceh.

Dan tibalah saat coblosan: Senin, 11 Desember. Logika saya sudah goyah. Pagi itu saya telepon Irwandi. Langsung diangkat. ”Mas, Anda di mana? Saya tunggu. Pokoknya, saya tidak ke TPS kalau Anda belum datang.” Cepat-cepat saya meluncur ke TPS 3 Gampoung Laksana, Banda Aceh, tempat Irwandi mencoblos.

Dengan tinta di jari, dosen Fakultas Kedokteran Hewan Syiah Kuala 1989 itu sudah siap difoto. Pakai baju lengan pendek. Celana kain. Sederhana. Lelaki yang pernah studi di Oregon University 1993 tersebut berterima kasih. ”Sampai ketemu ya,” katanya. Yakin benar orang ini.

Siang hari itu juga, hasil hitung cepat benar-benar memenangka­n Irwandi-Nazar. Mereka meraih sekitar 39 persen suara dari 2,6 juta pemilih. LSI juga mencatat partisipas­i pemilih mencapai 79 persen. ”Ini luar biasa. Hasil pilkada ini mematahkan prediksi semua pihak yang menyatakan bahwa pilkada Aceh akan berlangsun­g dua putaran,” kata Direktur LSI Denny J.A. waktu itu.

”Dugaan saya, baju adat Pak Irwandi dan pasanganny­a sangat memengaruh­i para pemilih. Saya lebih melihat ada impresi (kesan, Red) di kertas suara,” tegas Denny.

Selasa pagi, esok harinya, Irwandi menelepon. Dia bilang sudah menunggu di sebuah kantor. Duduk di belakang meja. Saya lupa kantor apa. Dia tertawa-tawa. Bagaimana, Pak, setelah menang versi hitung cepat? ”Saya biasabiasa saja. Tidak terkejut. Wartawan saja yang mungkin terkejut,” ucapnya lantas tertawa.

Menyindir? Saya dedas gubernur terpilih itu habis-habisan. Benarkah Anda menang karena memakai baju adat Aceh, sedangkan calon lain mengenakan jas? ”Ya. Mungkin ada sedikit pengaruh. Mungkin ada pemilih yang tidak bisa membaca atau tidak mampu membedakan angka 6 (nomor pencalonan Irwandi-Nazar) dengan 9.”

Bukankah pakaian adat itu strategi Anda yang tidak terpikirka­n calon lain? ”Ya, iya lah. Aku kan pernah juga dituduh sebagai ahli propaganda.” Lagi-lagi dia tertawa.

Saya kaget lagi ketika Irwandi Yusuf yang cerdik dan sederhana itu tertangkap tangan oleh KPK.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia